Kamis, 19 Agustus 2021

Yami no Ai: AFTER WORLD [Chapter 67]

 CHAPTER 67: Aggressive Rival

Keheningan menguasai atmosfir. Bahkan pada mobil yang melaju 40 km/jam itu tidak ada satu kata pun yang terucap. Kepala Hana hanya tertuju pada jalanan yang terlewati. Yoshiki sendiri hanya memandang jalanan berfokus pada kemudinya. Namun keduanya sebenarnya sama-sama tenggelam dalam pikiran masing-masing.

Hana yang mulai merasa bersalah meninggalkan sang suami.

Dan Yoshiki yang menerka-nerka apakah Hana merasakan penderitaannya saat wanita itu meninggalkannya tiba-tiba?

.

“Mandilah sebelum makan malam,” Kalimat pertama yang diucapkan Yoshiki begitu keduanya telah mencapai kamar.

“Tidak perlu,” Hana menjatuhkan dirinya pada ranjang, membalikkan posisinya membelakangi Yoshiki.

Pria itu menghela nafas berat, “mandi bisa merilekskan pikiranmu.”

“Mana mungkin pikiranku bisa rileks semudah itu.”

“Sebenarnya apa yang kau pikirkan? Shiroi Tenko?”

“Kenapa Yoshiki-kun bisa santai sekali sih?”

“Bukankah sudah kukatakan jika aku tidak tertarik kepadanya? Dia hanya stalker gila. Untuk apa kau memikirkannya?”

Badan Hana seketiika berbalik menatap sang pria yang tengah meneguk sebuah brandy.

“Dan kenapa Yoshiki-kun tidak tau jika perempuan itu selama berhari-hari menjadi stalker dan ada di dekat Yoshiki-kun? Bukankah Yoshiki-kun sang Lucifer yang mulia? Aku tidak mengerti sihir, tapi Yoshiki-ku seharusnya bisa menyadari keberadaannya kan?”

Yoshiki terdiam beberapa saat, “menurutmu kenapa aku tidak bisa merasakannya?” Pria itu berjalan mendekati ranjang, “jujur saja, sebenearnya aku baru menyadari jika selama ini setelah pulang dari kantor ternyata aku menuju tempat-tempat murahan seperti itu hanya untuk minum.”

“A-Apa? Yoshiki-kun tidak sadar?”

“Hn,” pria itu mengangguk, “dan aku baru menyadarinya setelah perempuan stalker itu mengatakannya.”

“B-bagaimana bisa?”

GRAB.

Tiba-tiba Yoshiki sudah menahan kedua tangan Hana di atas ranjang, dan tubuhnya sudah berjarak kurang dari sepuluh centi dari tubuh Hana, “karena istriku meninggalkanku ke tempat yang bahkan tidak kuketahui. Hari-hari setelah kau meninggalkanku sangatlah kacau. Aku sama sekali tidak tau apa yang kulakukan. Aku hanya tidak bisa berhenti memikirkanmu. Apa yang sedang kau lakukan? Apa kau baik-baik saja? Hingga aku sangat muak pada diriku sendiri ketika membayangkan jika kau berbahagia di luar sana bersama si sialan itu.”

Lidah Hana terbuka, namun tidak ada satu kalimatpun keluar dari sana.

“Hanya kau My Lady yang ada di pikiranku. Tanpa dirimu aku benar-benar kosong. Aku bekerja untuk setidaknya membantuku melupakanmu. Tapi naas. Semakin aku bekerja semakin aku merindukanmu. Meminum minuman keras, menghirup narkotika, semua kulakukan untuk melupakanmu setiap hari. Segala upaya kulakukan.”

Keheningan kembali menyeruak. Hana hanya bisa mengedipkan matanya, perempuan itu masih tidak tau harus mengatakan apa.

“Sekarang My Lady, jika kau tidak bisa berhenti memikirkan Shiroi Tenko yang tertarik padaku sampai menstalkerku, mengetahui tentang diriku selama kau pergi, bagaimana denganku pada saat kau meninggalkanku? Bagaimana perasaanku membayangkan kau dan si sialan Keigo Yasumoto itu saling menyayangi dan melewati hari-hari bersama?” Pria itu menghela nafas sejenak, “kau bisa melihatku, dan sudah kukatakan aku tidak tertarik pada perempuan lain selain dirimu. Bagaimana denganmu? Aku tidak tau kau ada di mana saat itu, dan kau bisa saja membalas perasaan si sialan Keigo Yasumoto itu. Mana yang lebih menyesakkan My Lady? Hmm?”

Yoshiki terdiam. Menyadari jika kalimat yang sudah ucapkan berlebihan begitu menyadari jika perempuan di bawahnya hanya bisa menatapnya dengan kerutan dahi.

“Hn, maaf, aku berlebihan,” perlahan Yoshiki menarik dirinya.

“Maaf,” sebuah kata yang diucapkan oleh Hana membuat Yoshiki menghentikan pergrakannya.

“Maaf Yoshiki-kun. Aku tidak tau mengapa aku bisa seperti ini. A-aku tahu aku salah karena telah meninggalkanmu karena kekecewaanku. Seharusnya aku menyadari apa yang sudah kulakukan benar-benar buruk, seharusnya aku sudah tidak memiliki hak untuk cemburu jika ada wanita yang—sangat jauh lebih baik—tertarik padamu.”

“Tidak.”

Detik itu juga sang pria kembali menindih sang wanita.

“Bukan begitu. Aku tidak masalah jika kau cemburu jika ada perempuan lain yang tertarik padaku. Kau berhak My Lady. Aku milikmu. Hanya milikmu,” sebuah ciuman dalam mendarat pada bibir Hana, sangat dalam sampai-sampai ciuman itu hanya terlepas ketika Hana membutuhkan asupan oksigen, “setidaknya kau sudah tau jika yang kau lakukan—meninggalkanku—adalah hal yang buruk, dan kau berjanji tidak akan meninggalkanku lagi, itu sudah cukup, My Lady.”

Sebuah air mata mengalir dari pelupuk sapphire Hana, “A-aku membenci diriku yang memang bukan siapa-siapa jika dibandingkan dengan Shiroi Tenko yang memiliki segalanya. Aku benci pada diriku yang tidak bisa melawan setiap ucapan Shiroi Tenko. Aku benci kepada diriku yang cemburu pada Shiroi Tenko namun pernah meninggalkan Yoshiki-kun,” setiap ucapan dan raungan Hana selalu terdengar isakan.

“Dan aku mencintaimu, My Lady.”

Ucapan singkat Yoshiki semakin membuat tangis Hana pecah. Perempuan berambut pendek itu menangis sejadi-jadinya.

.

“My Lady…. Aku harus mengecek dan menandatangani beberapa proposal…”

“Tanda tangani saja.”

“Hn, bagaimana aku melakukannya jika kau bermain game di sini?”

Kuroto Hana dengan game berisik pertempurannya tanpa memperdulikan segala kondisi kesibukan sang suami, duduk di kursi sang suami dan menghalangi pekerjaan sang suami.

Tak menjawab kalimat sang suami, Hana tetap berfokus pada game pertempurannya, menggerakkan jemarinya pada layar ponselnya.

“Hhhh…. Bagaimana jika kau duduk di meja saja?”

“He?” Namun kalimat aneh Yoshiki membuat fokusnya teralihkan.

“Duduk di atas meja dan menghadapku,” Yoshiki menepuk-nepuk sisi meja tempatnya beberapa tumpuk proposal yang harus ia selesaikan.

“Bukankah semakin mengganggu pekerjaan Yoshiki-kun?” Hana menatap Yoshiki kebingungan.

“No, if you sit on the desk without any clothes so I can fuck you hard.” 

“E-eh?” Wajah Hana lantas memerah, “Yoshiki-kun mesum!”

“Aku hanya mesum kepadamu, memangnya kau mau aku mesum kepada perempuan lain? Hn, sepertinya kau tidak keberatan jika kuingat-ingat lagi,” Yoshiki menjawab datar.

“H-Hah? Kapan aku tidak keberatan?”

“Setelah ritual malam itu, sial kau mengerikan sekali My Lady, kau sampai membuat seorang Lucifer sepertiku melakukan hal paling hina, membuatku bermasturbasi sendiri, padahal di luar sana banyak perempuan yang akan dengan sukarela memberikan tubuhnya padaku, seperti katamu malam itu.”

Hana kembali jatuh dalam penyesalannya begitu mengingat apa yang sudah ia katakana pada Yoshiki sangatlah keterlaluan dan bodoh. Bagaimana bisa ia mengizinkan Yoshiki menyentuh perempuan lain!?

“A-aku hanya terbawa emosi. M-Maaf…” tak berani menatap wajah Yoshiki, Hana memilih menundukkan wajahnya.

Yoshiki meletakkan tangannya untuk bersandar wajahnya, “bagaimana jika malam itu aku benar-benar memuaskan hasratku pada perempuan lain?”

Seketika kepala Hana terangkat, kedua alis Hana tertaut dan wajah tannya menunjukkan kesedihan, tanpa sanggup mengatakan satu kalimatpun.

Sebuah helaan nafas berat keluar dari Yoshiki, “tenang saja, aku milikmu, tidak ada perempuan lain yang boleh menyentuhku selain dirimu My Lady.”

BRAKK

Tanpa ada ketukan, ucapan permisi, atau hal-hal yang sopan sebelum memasuki ruang seorang presedir, Shiroi Tenko muncul membuka pintu utama ruang presedir.

Seketika Hana melompat dari kursi Yoshiki, memberikan tatapan awasnya ketika perempuan elit itu mulai berjalan ke arahnya.

“Serahkan Kuroto-kun padaku.”

“Hah!?” Hana hanya bisa melebarkan mulutnya begitu mendengar kalimat yang seolah terdengar seperti kalimat perintah itu.

“Kamu tuli? Kataku, serahkan Kuroto-kun padaku,” lagi, perempuan itu mengulai kalimatnya dengan nada datar, tanpa menyadari betapa tidak bermoralnya kalimatnya, “aku akan memberikanmu sejumlah uang yang banyak, berapapun yang kamu minta, supaya walaupun kamu bercerai dengan Kuroto-kun kamu tidak akan jadi miskin.”

Hana menoleh kepada Yoshiki, pria itu malah sibuk kembali menandatangani proposal, pekerjaan yang tadi tertunda karena dirinya merusuh.

Kedua tangan Hana mengepal, menahan emosi, “dengarkan aku, Tenko-sama yang terhormat, aku sama sekali tidak tertarik pada uangmu. Dan bisakah anda memiliki rasa malu? Yoshiki-kun adalah suamiku!”

Yoshiki terdiam beberapa saat, sebelum akhirnya sebuah senyum terulas pada bibir pria yang nampak sibuk membaca tabel keuangan yang tercetak pada proposal.

“Bagaimana anda bisa tidak punya malu memintaku menyerahkan Yoshiki-kun?”

Tenko tertawa, menyeringai, “bukankah anda duluan yang sudah tidak memiliki malu? Anda sudah meninggalkan Yoshiki-kun, mengacaukan hidup Kuroto-kun, dan sekarang anda kembali begitu saja dan menjadi sok istri?”

Hana kembali tertohok oleh senjata Tenko yang sama.

Dengan lidah setengah keluh, mati-matian Hana berusaha membalas, “i-itu memang salahku, a-aku terbawa emosi,” kepala Hana mendongkak tanpa ragu, menatap Tenko dengan pandangan yakin, “tapi aku memang istri Yoshiki-kun. Yoshiki-kun milikku, dan sebaiknya anda keluar dari ruangan ini!”

“….” Senyum pada bibir Yoshiki semakin tercetak lebar melihat punggung sang istri yang tengah menghadapi CEO Tenko Group. Kalau diingat-ingat, ini pertama kalinya Hana mengaku sedemikian lantang mengenai ikatan yang mereka jalani. Selama ini hanya terdengar dirinya yang seolah mengklaim Hana sepihak. Sekarang Hana sudah membalas klaimnya, dan balik mengklaim dirinya.

‘Ah terkadang memang kondisi seperti ini dibutuhkan untuk memojokkannya,’ pikir Yoshiki dengan senyum masih bertahan pada wajahnya.

“Oh, atas hak apa anda menyuruhku keluar? Aku masih pemegang saham terbesar perusahaan ini,” dengan congkak Tenko Shiroi menjawab.

“Cukup,” Yoshiki bangkit dari kursinya, berdiri di samping Hana, dan memeluk perempuan itu dari samping, “Jika anda masih mengatakan saham, saya akan membuat pakta pemutusan saham dan bersedia mengganti rugi sebanyak apapun yang Tenko Group akan ajukan.”

Perempuan dengan rambut ikal elegan itu hanya bisa mengigit bibir merahnya melihat pemandangan di hadapannya. Sosok pria yang begitu ia dambakan malah memeluk perempuan yang menurutnya bukan saingannya sama sekali.

“B-berani-beraninya—”

“Selanjutnya, jika anda kembali datang ke ruangan ini tanpa ada tujuan jelas, maka anda akan menjadi CEO pertama yang akan diseret oleh pihak keamanan keluar.”

“Ck!!” Shiroi Tenko berdecak kesal, “lihat saja Kuroto Yoshiki! Aku pasti akan berhasil membuatmu memilihku dan membuat perempuan hina itu!”

“Dalam hitungan ke 3, jika anda masih di sini maka tidak ada pilihan lain, 1…”

“Sialan!” Perempuan yang nampak begitu elite itu mengumpat begitu saja sebelum akhirnya menghilang dari balik pintu.

“Haaah, apa-apaan sih perempuan itu,” Hana tidak bisa menahan dirinya untuk tidak memijat pelipisnya.

“Hn, kembali bekerja,” Yoshiki melepaskan pelukannya, dan kembali pada mejanya.

Hana membalik badannya, kembali melanjutka keluhannya, “Yoshiki-kun… Mau bagaimanapun Yoshiki-kun santai sekali loh. Aku curiga sebenarnya Yoshiki-kun suka jika ada banyak wanita yang menyukai Yoshiki-kun.”

Baru beberapa detik sejak Hana menggebrak pelan meja Yoshiki, tangan perempuan berambut hitam itu tiba-tiba ditarik begitu saja hingga membuat sang empunya tubuh limbung hingga terjatuh untuk ditangkap Yoshiki yang telah duduk di kursinya.

“Aku selalu di sukai banyak wanita, My Lady,” onyx pria itu menatap lekat sapphire Hana.

“Y-ya lalu? Yoshiki-kun tampan, oke. Yoshiki-kun, kaya dan sukses, oke. Siapa manusia yang tidak akan jatuh hati pada Yoshiki-kun?”

“Aku juga seorang Lord.”

“Ya oke, ditambah seorang Lord, iblis mana yang tidak akan jatuh jati?”

Yoshiki tertawa kecil.

“Sial, malah tertawa,” Hana melengoskan wajahnya kesal.

‘chu’

Pria itu selalu membuat pergerakan tiba-tiba, seperti sekarang, tanpa ada persiapan dari Hana, pria itu sudah mengecup bibinya.


“Siapa yang mengizinkan Yoshiki-kun menciumku!?”

Yoshiki tidak bisa menahan diirnya, istrinya ini begitu lucu memprotes namun wajahnya memerah.

“Benar, banyak wanita, entah manusia atau iblis yang tertarik padaku My Lady. Aku bisa semudah itu mengabaikan mereka. Namun kali ini aku senang.”

“Senang?”

“Hn, Aku Lucifer, My Lady. Sin of Pride. Kebanggaanku adalah segalanya. Aku memiliki segalanya, dan diantara sekian banyak kebangganku, hanya kau yang bisa meninggikan kebangganku. Selama ini hanya aku yang mengklaimmu. Dan akhirnya, kali ini kau yang mengklaimku. Entahlah, aku senang.”

“A-apa itu? Aneh!”

“Hn, terkadang keinginan iblis yang sudah hidup lebih dari beribu tahun dan memiliki segalanya memang terdengar aneh dan remes,” Yoshiki kembali memberikan seluruh tatapannya pada mata Hana, “aku ingin mendengar lebih banyak lagi, dari bibirmu, jika kau mencintaiku, jika kau adalah istriku, aku adalah suamimu, aku adalah milikmu, aku ingin seluruh dunia tau jika kau adalah milikku.”

“Possesif sekali,” Hana melirikkan pandangannya ke arah lain.

“Tentu saja. Aku menantimu dalam kurun waktu yang tidaklah sebentar My Lady. Aku mengawasimu dari kau dalam kandungan, mana mungkin aku akan melepaskanmu begitu saja?”

Hana hanya tidak bisa menjawab lagi kalimat pria dengan onyxnya yang seolah menelanjanginya itu.


.


Malam itu hujan deras turun tanpa ampun. Sementara Hana hanya bisa melihat keluar minimarket yang memperlihatkan pemandangan malam kota kala hujan deras ditemani segelas susu hangat dalam cangkir kertasnya.

‘Jika aku mengirimkan chat aku terjebak di minimarket Yoshiki-kun pasti akan marah,’ pikir Hana menertawakan kekonyolannya. Pasalnya sore tadi ia sempat berdebat dengan sang suami lantaran sang suami keukeuh menyuruhnya menunggu sampai pekerjaannya selesai setelah itu keduanya bisa ke minimarket bersama, namun Hana dengan keras kepala memaksa ke minimarket sendiri karena jaraknya juga tidaklah jauh. Dan lihat, sekarang Hana terjebak hujan.

Entah sang suami bisa membaca keresahannya sekarang atau bagaimana, namun ponselnya bergetar, sebuah pesan dari sebuah kontak bertuliskan ‘Yours’ muncul. Tentu saja ponsel ini adalah ponsel pemberian Yoshiki, dan Yoshiki sendiri yang menamai kontaknya seperti itu, terkadang hal ini bisa membuat Hana tertawa kecil, prianya ini sangat romantis. Pesan itu bertuliskan, “masih lama? Katakan jika kau sudah selesai, akan kujemput.”

Hendak saja Hana membalas pesan tersebut, pintu minimarket di sampingnya terbuka diiringi sebuah bunyi pertanda seorang pelanggan masuk, “Selamat sore, nonya istri,” Hana tahu siapa pelilik suara itu, Shiroi Tenko. Namun saat itu wanita itu tidaklah sendiri. Di belakang wanita itu berdiri seorang pria yang mengenakan tudung jaket yang setengah basah oleh air hujan.

“Terjebak hujan?” Wanita itu bertanya dengan nada ponggahnya.

Mata sapphire Hana untuk beberapa saat mengamati wanita itu dari ujung kaki hingga ujung rambut. Berusaha mencari tahu apa keinginan dari wanita ini sejak mengacau dan di usir dari ruangan suaminya hampir lima hari lalu.

“Begitulah. Apa mau anda? Jangan katakan anda yang tiba-tiba masuk ke minimarket ini ingin berteduh dari hujan?” Tanya Hana sarkartis, tetap awas.

“Tentu saja tidak mungkin kan. Ini bukan kelasku. Aku hanya ingin memperkenalkanmu pada dia, oh tidak perlu. Bukankah kalian sudah kenal? Silahkan kuberikan waktu kepada kalian.”

Pria yang dari tadi berdiri di belakang Shiroi Tenko akhirnya melakukan pergerakan. Pria itu perlahan menurunkan tudung jaketnya.

“!!!”

Dan begitu pria itu menurunkan tudungnya, tubuh Hana melemah, bahkan ponsel dan kantung belanjaannya meluncur turun membentur lantai.

Read More ->>

Kamis, 29 Juli 2021

Yami no Ai: AFTER WORLD [Chapter 66]

 Chapter 66: That Shameless Straight Woman


Langkah kaki dari sebuah sepatu dengan hak yang cukup tinggi menggema di hampir seluruh Lorong menuju ruang sang presdir.

“Kau sudah membawa berkasnya?”

“Sudah Tenko-sama.”

“Hari ini kita harus berhasil mengancam Kuroto Yoshiki.”

“Baik Tenko-sama,” pria dengan setelan jas berwarna abu-abu gelap setia mengekor di belakang Tenko.

Brak.

Perempuan dengan rambut ikal hitamnya itu membuka ruangan presdir tanpa mengetuk. Seketika seluruh kepala yang ada di dalam ruangan itu nampak terarah pada sang perempuan. 

“Aku sendiri yang akan memastikan divisi produksi. Kau bisa kembali,” Yoshiki berujar pada seorang pria yang berasal dari divisi pemasaran.

“Baik Kuroto-sama. Saya undur diri,” sang pria dengan canggung melangkahkan kaki keluar dari ruangan yang tiba-tiba tensinya naik.

“Ah, anu, silahkan duduk,” dengan konyol Hana segera bangkit dari kursinya, padahal dirinya tengah asik menikmati sebuah pancake dibalut madu.

“Kau duduk saja My Lady,” Yoshiki bangkit dari kursinya untuk kemudian menarik Hana duduk pada kursi tamu.

“Eh?” Hana menunjukkan wajah konyol kebingungannya, “kenapa?”

Yoshiki memberikannya tatapan datar, “karena kau istriku, sekarang duduk.”

Suasana hati prianya itu sedang buruk. Hana mengetahui hal tersebut, oleh sebab itu tak ingin memperumit permasalahan, ia lebih memilih menuruti perintah sang suami.

Mata sapphire Hana bertanya-tanya, siapa kedua sosok di hadapannya ini. Seorang wanita yang rambutnya seolah setiap hari di bawah ke salon itu seperti tengah menatapnya rendah.

‘Uwagh…. Menyebalkan sekali…’ Namun bagaimanapun Hana harus menahan diri.

Dan di samping perempuan itu ada seorang pria paruh baya, tebakan Hana, pria itu adalah bawahan sang wanita.

“Kita cepat saja, aku muak berada di ruangan yang sama dengan manusia yang derajatnya di bawahku,” Perempuan pemimpin Tenko Group itu membuka mulut.

‘Ah sialan,’ Hana tau kalimat perempuan itu merujuk padanya, karena sudut mata perempuan itu selalu terarah padanya.

“Lebih cepat lagi jika kau segera keluar dari ruangan ini jika kau terus mengatakan omong kosong,” Namun Yoshiki sedang sama dalam kondisi terburuknya.

Shiroi Tenko menyeringai tipis, “kenapa kamu marah Kuroto-san?”

“Aku tidak memiliki banyak waktu untuk meladenimu, Tenko-san.”

Perempuan itu dengan tenang merespon, “selalu kasar seperti biasa, kau tidak bisa jujur pada dirimu Kuroto-san. Tapi tidak apa-apa, pembukaan ini sudah cukup untuk membuat jantungmu bersiap-siap. Keluarkan datanya,” Shiroi Tenko memberikan aba-aba pada pria di sampingya.

Pria di samping Shiroi Tenko mengeluarka beberapa map dari tas hitamnya, “kami berencana membawa saham kami ke pengadilan untuk melakukan penuntutan dan klaim. Dengan data sebanyak ini kami yakin bisa mengambil alih perusahaan ini.”

Pada onyx Yoshiki hanya terpantul angka-angka yang menurut sang pria mampu menjatuhkannya. Tidak salah. Dengan semua data itu, Yoshiki tau mereka tidak akan bersusah payah untuk mengambil hak milik perusahaannya menjadi hak milik mereka.

“Hooo…” Yoshiki merespon santai, “kau benar-benar ingin mengancamku.”

“Ancaman Tenko group tidak akan pernah main-main, Kuroto-san,” Shiroi menjawab congkak.

“Menarik,” Yoshiki mengangguk, “apa yang kau inginkan?”

Wanita itu menyibakkan rambutnya penuh kemenangan, “aku menginginkanmu, Kuroto-san.”

“!!!!!” Seketika tubuh Hana menegang mendegar ucapan sang wanita, “eh? Apa maksudnya?”

“Maksudnya, aku menginginkan suami anda, Kuroto Hana-san,” wanita itu yang bagi Hana sama sekali tidak punya malu mengucapkan terang-terangan hal seperti itu.

“….. a-apa?” Hana kehilangan kalimatnya, ia tak habis pikir.

“Jika hanya itu yang ingin kau sampaikan, maka pintu keluar ada di tempat yang sama saat kau masuk,” Yoshiki berguman dingin.

“Hoo, kau mengusirku Kuroto-san?”

Yoshiki tidak bergeming.

“Setelah foto-foto yang kukirimkan kepadamu kemarin malam, kau bergeming? Setelah menikmati foto-foto itu? Ah, kira-kira apa yang sudah kau lakukan pada foto-fotoku?” Shiroi Tenko semakin menggila.

Memang benar jika kemarin malam Yoshiki mendapatkan sebuah email berisi foto-foto dengan pose sangat vulgar.

“A-apa?” Hana tetap tidak bisa mengatakan apapun.

Dengan santai, Yoshiki mengeluarkan ponselnya, membuka aplikasi chat dan memperlihatkan kolom chat Shiroi Tenko yang menunjukkan notifikasi 30 chat belum terbaca, “menikmati? Kulihat saja tidak,” Yoshiki meletakan ponselnya dengan santai di atas meja.

Melihat itu Tenko semakin meradang, “bodoh sekali Kuroto-san, kau adalah pria terbodoh yang kutemui seumur hidupku. Lihat saja, besok hak milik perushaan ini akan dibalik namakan menjadi perusahaanku!”

“Tenko-san, asal kau tau, kehilangan satu perusahaan bukanlah sebuah masalah bagiku. Namun, aku ini pria yang keras kepala. Apa yang harusnya menjadi milikku haruslah tetap menjadi milikku. Jika kau memang yakin dengan seluruh kemampuan pengacara dan finansialmu, aku akan menerima peperangan yang kau ajukan tanpa berat hati.

“Kita lihat saja besok, Ku-ro-to-sa-ma,” perempuan itu bangkit berdiri dan mencemooh nama pria itu sebelum akhirnya meninggalkan ruangan.

Suara pintu yang ditutup membawa keheningan di dalam ruangan Yoshiki.

“Hhhh…” Pria berambut dongker gelap itu hanya bisa menghela nafas malas, “merepotkan.”

“D-dia siapa Yoshiki-kun? Apa-apaan itu tadi!?” Hana membuka mulutnya.

“Shiroi Tenko, CEO Tenko Group. Pemilik saham terbesar di perusahaan ini,” Yoshiki menjawab santai sembari kembali meraih ponselnya dan jarinya menari-nari di atas layar sentuh ponsel tersebut.

“K-kenapa dia seperti itu? Ada apa dia dengan Yoshiki-kun?” Nada bicara Hana tidak karuan.

“….. Hn?” Yoshiki menghentikan sejenak aktivitasnya, menatap Hana dengan sebelah alis terangkat, “dia tertarik padaku tentu saja.”

“A-apa?”

Hana tidak habis pikir dengan apa yang sudah terjadi di hadapannya. Perempuan gila pemilik perusahaan besar yang datang terang-terangan merendahkan dirinya karena memiliki perasaan pada suaminya. Dan suaminya yang sangat santai menanggapi apa yang terjadi.

Yoshiki bangkit berdiri, “sekarang ayo kita pulang, sepertinya moodku sedang tidak baik.”

“Apa? T-Tunggu.”

“Hn?” Yoshiki menatap Hana dengan santai.

“Mood Yoshiki-kun buruk? Lalu bagaimana denganku? Kenapa Yoshiki-kun bisa sesantai itu!? Tenko gila itu menyukai Yoshiki-kun dan menginginkan Yoshiki-kun! Kenapa Yoshiki-kun bisa sesantai itu menanggapinya!? Yoshiki-kun juga menyukai perempuan itu!?” Hana meraung-raung tanpa bisa menahan dirinya.

BRAK

Detik berikutnya Yoshiki sudah mengunci tubuh Hana pada dinding, wajah pria itu sangat kaku, menatap Hana dengan setengah memincing, “mana mungkin aku menyukainya, kan?” Pria tu berdesis tidak suka, “aku hanya milikmu My Lady.”

Ketegangan pada tubuh Hana berkurang, “tapi…”

Sebuah kecupan mendarat pada bibir Hana, membuat sang empunya terpaksa menghentikan kalimatnya.

“jangan khawatir, aku akan segera menyelesaikan masalah ini.”

Padangan Hana untuk berikutnya nampak tertuju ke bawah, tidak lagi menatap onyx sang pria, “aku… takut…”

“Takut?” Pria itu menaikkan sebelah alisnya.

“Dia cantik! Keren! Elegan! Sexy! Tegas! Bahkan sama seperti Yoshiki-kun yang memiliki perusahan, seorang CEO! Dia memiliki segalanya!” Hana menyerukan semua hal yang membuatnya takut, hingga nada bicaranya menurun, “tidak seperti aku…”

“Lalu?”

“Eh?” Respon pria itu membuat kepala Hana kembali mendongkak.

“Kau kira aku peduli pada hal-hal yang kau sebutkan tadi?” Pria itu bertanya dengan nada datar.

“…..” Hana tidak bisa menjawab, pandangannya hanya tertuju pada sang pria.

Disodorkannya ponselnya pada Hana, “My Lady, aku sama sekali tidak tertarik padanya. Bahkan email pancingan yang dikirimkannya sama sekali tidak kubuka.”

Dengan ragu tangan tan Hana menerima ponsel sang pria, menekan email yang berasal dari sang CEO Wanita.

Sapphire Hana melebar. Ia tak bisa menahan salah satu tangannya untuk tidak menutupi mulutnya yang hampir terbuka lebar. Ia terkejut. Pasalnya yang ia dapati adalah kumpulan foto yang sangat tidak senonoh dan vulgar. Bagaimana bisa perempuan terhormat sekelas CEO bisa melakukan hal sehina ini!?

Pegangan Hana semakin mengerat sementara ia terus mencsroll puluhan foto yang dilampirkan pada email itu. Pada foto-foto tersebut terlihat pose Shiroi Tenko yang tidak mengenakan pakaian barang selembarpun, berpose memamerkan setiap lekuk tubuhnya hingga bagian sensitifnya. Bahkan yang membuat Hana tak habis pikir, perempuan itu mengirimkan foto bagian bawah tubuhnya yang ia buka lebar-lebar dengan memberikan editan bertuliskan ‘masukkan milikmu kemari tuan.’

Dengan kesal dan tanpa meminta persetujuan sang empunya ponsel, dihapusnya email tersebut.

“Hn, kau menghapusnya?” Yoshiki bertanya dengan nada datarnya.

“Iya kuhapus! Kenapa? Tidak boleh?”

“Hn, tidak masalah, lagi pula sebenarnya aku bisa melihat isi email tersebut tanpa harus membukanya,” sekarang pria itu tersenyum jahil.

“A-apa? J-jadi Yoshiki-kun sebenarnya sudah tau?”

Yoshiki mengangguk santai, “aku ini Lucifer, apa yang tidak bisa kulakukan?” Seringai pria itu seolah semakin melebar.

Hana kesal. Diserahkannya ponsel tersebut pada tangan Yoshiki.

“Hn, tapi aku benar-benar tidak tertarik. Aku berharap kaulah yang memberikanku foto-foto seperti itu.”

Seketika kepala Hana terdongkak menatap wajah Yoshiki, “a-apa?”

Pria itu tersenyum jahil.

“Enak saja! Aku tidak akan memberikan foto-foto seperti itu!” Wajah Hana telah luar biasa memerah.


.


Hana masih menatap tidak percaya suaminya, Kuroto Yoshiki, yang tengah asyik membolak-balik sebuah buku bertajuk Perang Salib, tenggelam di dalam sela-sela rak buku berkategori sejarah.

“Hn, sudah mendapatkan bukumu?” Pria itu menutup bacaannya begitu melihat sosok istrinya berdiri dari luar rak buku.

Hana mengangguk kecil, “Yoshiki-kun tidak apa-apa?”

“Hn? Kenapa denganku?”

“Bukankah hari ini Shiroi Tenko akan mengajukan gugat saham untuk perusahaan Yoshiki-kun?”

Bukannya menjadi serius ataupun tegang, pria itu malah kembali membuka buku tebalnya, dan kembali mengarahkan seluruh atensinya pada paragraf terakhir yang ia baca, “aku sudah mengirimkan orang-orang yang bisa membalikkan keadaan. Tenko tidak akan bisa mengambil alih perusahaanku,” pria itu berujar santai.

Hana masih menatap tidak percaya, “santai sekali sih. Bagaiman jika suruhanmu gagal?”

“Tidak akan. Mereka tau konsekuensinya jika gagal.”

“Ah, Yoshiki-kun seram sekali bisa mengatakan hal semengerikan itu dengan wajah datar.”

“Jika mereka gagal, aku masih punya banyak cara untuk merebut kembali perusahaanku, dan menghancurkan Tenko Group jika mereka berani macam-macam, dari pada itu,” pria itu menghilangkan jarak antara dirinya dan Hana untuk kemudian meraih pinggang wanita itu untuk mendekat padanya, “kau tertarik pada sejarah perang salib?”

“Aku hanya tertarik pada perang dunia. Yoshiki-kun terlalu santai. Memangnya Yoshiki-kun tidak khawatir Shiroi Tenko akan melakukan hal-hal aneh lainnya?”

Yoshiki mendenguskan nafasnya malas, “kenapa kau bersikap berlebihan sekali? Lagipula seharusnya persidangan sudah selesai beberapa waktu lalu, sebentar lagi kabar baik akan datang.”

“Karena dia Shi—”

“Oh, tidak datang ke persidangan dan malah bermesraan di toko buku? Konyol sekali,” sebuah suara menginterupsi keduanya seketika.

Betapa kagetnya sapphire Hana begitu mendapati sosok Shiroi Tenko yang sangat elegan tengan menatapnya penuh penghinaan.

“Untuk apa aku datang ke persidangan yang sudah jelas akan kumenangkan?” Bukannya melepaskan rengkuhannya pada pinggang Hana, pria itu malah semakin mengeratkan pegangannya.

“A-anu Y-Yoshiki-kun,” Hana kelabakan, menurutnya bukan waktunya untuk bermesraan seperti ini, dihadapannya ada monster yang seharusnya ia bersiaga menghadapi.

“Tch!” Tenko berdecak sangat keras, “sungguh tidak berkelas. Tunggu saja, aku pasti akan merebutmu dari perempuan tidak berkelas itu.”

“Hah? Apa?” Hana sudah tidak bisa menahan dirinya lagi, dilepaskannya pelukan Yoshiki dan mulai mencondongkan tubuhnya pada Tenko, “bagaimana bisa anda mengatakan hal sehina merebut pasangan orang lain semudah itu!?”

“Pasangan? Kamu menyebut Kuroto-san sebagai pasangan setelah meninggalkannya ke Australia?”

Keduanya terkejut seketika. Dan hal yang sama terlintas pada kepala Yoshiki dan Hana adalah, bagaimana wanita ini bisa tau!?

“Lihat, wajahmu sangat bisa ditebak, aku tau dari mana? Apa yang tidak bisa kuketahui sebagai seorang penguasa?”

Tidak ada kalimat yang bisa Hana ucapkan selain alisnya yang mulai mengerut waspada.

“Kamu sama sekali tidak menguntungkan apapun bagi Kuroto-san. Tidak seperti aku yang memiliki segalanya dan bisa menopang Kuroto-san dari segala aspek. Ekonomi, Popularitas, Integritas, Sosial, Status. Bahkan aku yakin, aku jauh lebih bisa memuaskan Kuroto-san dalam aspek seksual. Menyerahlah, Hana-san, kamu hanyalah beban. Oh, kenapa aku menyebutmu beban? Karena setelah kepergianmu ke Australia, Kuroto-san yang bahkan selalu pulang setelah seharian bekerja ke kantor malah mampir ke tempat minum!”

Kedua mata Yoshiki melebar, ia sama sekali tidak menyadari apa yang ia lakukan setelah kepergian Hana benar-benar sekacau itu. Dan Shiroi Tenko menyadari hal itu. Sudah berapa lama perempuan itu menguntitnya? Ia terlalu jatuh ke dalam rasa putus asa kehilangan Hana sampai-sampai tidak menyadari jika ada perempuan gila yang menguntitnya?

Onyx Yoshiki sekarang hanya bisa menatap rambut hitam pendek Hana dari belakang. Wanitanya itu sama sekali tidak memberikan respon apapun. 

Sesuatu dalam dirinya tergelitik, apa yang dirasakan dan dipikirkan wanitanya itu sekarang? Penyesalan? Karena kenyataannya Hana meninggalkannya, dan penyebab dari segala kekacauan dalam dirinya adalah perginya Hana dari sisinya.

“Aku benar kan, Kuroto-san?” Tenko seolah seperti semakin memberikan bahan bakar untuk membakar suasana.

‘Benar.’ Yoshiki ingin menjawab dengan lantang. 

Tapi tentu saja ia tidak bisa membiarkan wanitanya dipermalukan seperti ini, “sebelum itu, Tenko-san, bagaimana kau bisa menjadi begitu menjijikan dengan selalu membuntutiku?” Yoshiki bertanya dengan nada datar, mengembalikan buku yang tadi dibacanya pada rak.

“Tentu saja, karena aku mencintai Kuroto-san. Aku harus tau apa saja yang dilakukan setiap saat,” Tenko menjawab tak kalah santai.

“A-A…” Hana tidak bisa melanjutkan apa yang ingin ia katakana, ia sampai kehabisan kata mendengar argument Shiroi Tenko.

Yoshiki melangkah hingga menyamai posisi Hana, “kau sudah mendapatkan buku yang kau inginkan?”

“Ah, aku tidak ingin membeli apapun hari ini,” Hana menjawab lesu.

Tidak perlu lama bagi Yoshiki menyadari jika istrinya sedang dalam mood yang buruk, “kalau begitu, kita bisa pulang sekarang,” digandengnya erat tangan Hana untuk ia tarik melangkah menjahui Shiroi Tenko yang mulai meracau gila.

“Aku benar. Aku benar Kuroto-san. Perempuan itu beban bagimu! Sebaiknya kau campakkan perempuan murahan itu! Datanglah padaku Kuroto-san!”

Read More ->>

Sabtu, 10 Juli 2021

Yami no Ai: AFTER WORLD [Chapter 65]

 CHAPTER 65: HUSBAND’S WORK

“Cih,” perempuan itu seolah kehilangan sopan santunnya, tanpa diundang langsung menduduki kursi di hadapan Yoshiki dan menyilangkan kakinya.

“Tidak kusangka seleramu serendah ini, Kuroto-san,” wanita itu menyodorkan ponselnya yang tengah menampilkan foto dirinya dan Hana tengah makan bersama di restoran cepat saji siang tadi.

“Hn, dengan merendahkan orang lain apakah kau akan terlihat lebih tinggi dan pantas, Tenko-san?” Yoshiki berguman datar.

“Siapapun akan mengatakan aku lebih baik daripada istrimu itu Kuroto-san.”

Yoshiki menegakkan badannya, “bagaimana jika aku mengatakan bahwa kau sama sekali tidak sebanding dengan istriku?” mata pria itu berkilat, marah.

“Apa? Kamu ini buta Kuroto-san?” Shiroi Tenko nampak menaikkan sebelah alisnya.

“Tidak. Penglihatanku saat ini adalah yang terbaik.”

“Ah aku mengerti,” perempuan itu mengangguk congkak, “tentu saja aku tidak akan sebanding dengan istrimu yang jauh di bawahku benar?”

Yoshiki menyilangkan posisi kakinya sementara punggungnya ia sandarkan pada kuris, pria itu terkekeh, terkekeh mengejek, “baiklah, coba sebutkan apa saja yang membuatmu lebih baik daripada istriku.”

“Aku cantik.”

“Cantik hanya soal selera.”

“Seleramu rendahan Kuroto-san.”

Yoshiki kembali terkekeh, “lalu kenapa kau begitu mengejar pria yang menurutmu memiliki selera rendahan?”

“Aku tidak mengerti. Apa yang kamu lihat dari perempuan yang bahkan pergi makan siang dengan suaminya tanpa menggunakan riasan sedikitpun?”

“Tenko-san, penampilan bukanlah hal yang utama bagiku.”

“Konyol,” perempuan itu berguman tidak percaya.

“Kenyataannya memang seperti itu,” Yoshiki menimpali datar.

“Lalu, hal apa yang utama bagimu?”

Sebuah senyuman merendahkan tercetak pada wajah tampan Yoshiki, “memangnya apa untungnya bagiku memberitahumu Tenko-san?”

“Kuroto-kun semoga kamu masih ingat jika saham Tenko Group adalah 28% di perusahaan ini.”

Yoshiki tertawa mengejek, “lalu?”

“Dengan beberapa persidangan aku bisa mengambil asset saham dan menguras kepemilikan perusahaan ini.”

“Oh?” Yoshiki menatap dengan pandangan mempermainkan, “begitu?”

Perempuan itu memincingkan matanya, “apa maksudmu?”

“Maksudku? Astaga Tenko-san, kenapa kau masih bertanya? Tentu saja karena aku tidak peduli dengan ancamanmu.”

Perempuan itu bangkit berdiri seketika, “aku sama sekali tidak bermain-main di sini Kuroto-kun.”

“Begitupun aku.”

Perempuan itu berdecak kencang, “lihat saja Kuroto-kun. Kamu pasti akan menjadi milikku,” sebelum akhirnya bangkit berdiri untuk meninggalkan ruangan Yoshiki.

“….” Onyx itu hanya menatap datar pintu ruangannya yang baru saja terbanting kasar.

“…. Merepotkan.”


.


Cklek

Pintu kamar tidur itu terbuka, membuat kepala hitam Hana seketika terarah pada sumber suara.

“Selamat datang Yoshiki-kun,” sambutnya begitu mendapati sosok suaminya yang sudah melepas jasnya dan menyandarkannya pada lengannya.

Tak menjawab, pria itu melemparkan jasnya sembarangan dan menaiki ranjang dengan sepatu yang bahkan belum ia lepas. Yoshiki merangkak di atas ranjang tempat sang istri nampak sibuk dengan ponsel yang pegang secara horizontal.

“Eh? Kenapa?” Kepala bermata sapphire itu menatap kebingungan pada sikap sang suami.

“My Lady…” tangan pria itu mengusap lembut pipi Hana.

“Eh loh? Ada apa Yoshiki-kun?” Hana kebingungan, pria di hadapannya sama sekali tak bisa ia tebak maksud dan kemauannya di balik wajah datarnya.

Berikutya terjadi begitu cepat, Yoshiki sudah mengangkat badan Hana, sementara tubuh pria itu malah berbaring nyaman di ranjang. Posisi terlah berbalik. Yoshiki berada di bawah, dan Hana duduk pada pinggang pria itu.

“Heh? K-Kenapa?” Hana hanya bisa meracau kebingungan.

“My Lady…” kembali, pria itu berguman dengan nada beratnya.

“Y-Ya?”

“Katakan jika kau mencintaiku.”

“HAAAAAAHHH!??” Wajah Hana benar-benar memerah sampai telinganya sekarang, “kenapa tiba-tiba begitu?”

Hana selalu tidak bisa memahami Yoshiki. Pria itu selalu tiba-tba melakukan hal-hal yang menurutnya tak beralasan.

Jika diingat-ingat lagi, Yoshiki pernah tiba-tiba memeperkosanya saat berada di penginapan SMA nya hanya karena pria itu cemburu pada si ketua kelas tanpa mengatakan apapun.

“Katakan saja,” pria itu berguman datar dan dingin.

“A-aku akan mengatakannya tapi jelaskan kenapa terlebih dahulu. Yoshiki-kun pulang dari kantor tiba-tiba menjadi aneh seperti ini bagaimana aku bisa tenang-tenang saja!?”

Pria itu tertegun untuk beberapa saat, menyadari jika tindakannya ini benar-benar tidak beralasan bagi Hana.

Sebuah helaan nafas terdengar, “aku tidak kenapa-kenapa,” lagipula tidak mungkin bukan dia menceritakan pada Hana jika moodnya kacau hanya karena seorang manusia wanita mengejarnya sedemikian rupa?

“Bohong sekali,” ujar Hana tidak percaya.

“Hn… tapi aku ingin mendengarnya. Mendengar kalimat kau mencintaiku.”

“Bagaimana Yoshiki-kun bisa mengatakan itu dengan wajah sedatar itu sih!?”

“Hn? Kenapa? Memangnya itu hal yang merepotkan?”

“Y-yah bukannya merepotkan sih…”

“Kalau begitu tinggal katakan saja.”

Wajah Hana memerah pekat,menatap pria itu tidak percaya. Bagaimana mungkin pria itu bisa setenang dan sedater itu terhadap sebuah perasaan yang sensitif!? Oke memang benar budaya di barat mengatakan hal seperti mencintai kepada pasangan adalah hal yang biasa, tapi tidak dengan dirinya!

“A-Aku…” susah payah bibir Hana bergerak melawan deguban jantungnya.

“…… M-m…” bibir Hana gemetar, hingga, “MENCINTAI YOSHIKI-KUN!” Diakhiri dengan nafas yang memburu.

Pria itu tersenyum lembut, “aku juga mencintaimu, My Lady.”

Blush

Hana sudah tidak bisa mempertahankan dirinya sekarang. Jantunya seperti meledak detik itu.


.


Alarm pagi itu berbunyi. Tentu saja dengan malas sebuah tangan kekar terjulur dari balik selimut untuk menonaktifkan alarm tersebut.

Belum habis beberapa detik, selanjutnya bunyi ketukan pada pintu benar-benar membuat pria itu keluar dari balik selimutnya, “masuk,” ujarnya malas.

Sepeti biasa, sang sekretaris akan muncul memberitahukan segala jadwalnya, “selamat pagi My Lord, hari ini anda harus melakukan rapat dengan para kepala cabang. Dilanjutkan dengan makan malam bersama CEO Tenko Group.”

“Apa?” Yoshiki yang awalnya hanya mendengarkan tanpa minat seketika terbangun sempurna begitu mendengar nama Tenko.

“Maaf, My Lord?” Sang sekretaris nampak ragu.

“Tenko Group. Aku tidak ingat memiliki janji makan malan dengan CEO mereka.”

“Permintaan ini baru diajukan kemarin malam. Karena topik yang dibahas mengenai saham, sementara saya memeberikan persetujuan, namun jika My Lord menolak saya bisa memberikan kabar pada mereka.”

Yoshiki memijat pelipisnya, “ganti pada rapat formal, aku tidak ingin makan malam dengan siapapun nanti malam.”

“Yes, My Lord,” sang sekretaris berojigi sebelum akhirnya menghilang dari balik pintu.

“Ada apa Yoshiki-kun?” Kepala hitam Hana keluar dari balik tebal dan hangatnya selimut.

“Hn? Kau terbangun? Maaf, selamat pagi My Lady.”

Badan Hana dengan enggan keluar dari balik selimut dan menuruni ranjang, “ada apa?” Lagi, Hana mengulangi pertanyaanya.

“Hanya masalah pekerjaan,” Yoshiki menjawab santai.

Tapi sapphire itu seolah menatap tidak puas dengan jawaban Yoshiki, “Yoshiki-kun dari kemarin malam aneh loh.”

“Hn? Begitukah?”

Kepala hitam Hana mengangguk, “Yoshiki-kun jika memiliki sesuatu masalah…. Unek-unek… umm… apapun itu, boleh kok bercerita padaku. Lagipula ini sudah… 4 tahun pernikahan kita tapi aku masih tidak terlalu mengenal pekerjaan Yoshiki-kun.”

Pria itu tersenyum tipis, “pagi ini setelah sarapan, sebelum aku berangkat rapat dengan para kepala cabang, aku harus pergi ke suatu tempat, sebuah rumah sakit kecil.”

Hana tidak bisa menahan diri untuk tidak memiringkan kepalanya kebingungan, “Yoshiki-kun sakit?”

“Tidak, in pekerjaanku. Bukankah kau bilang ingin mengenal pekerjaanku?”


.


Yoshiki membuka sebuah pintu kaca rumah sakit yang terletak sangat jauh di pinggir dan sangat jauh dari hiruk pikuk Tokyo.

‘Wah, kalau ini lebih cocok disebut sebagai rumah sakit hantu,’ Hana yang berjalan di belakang Yoshiki sibuk memandangi sekitar dengan tersenyum kaku. 

“Kuroto-sensei,” seorang suster tiba-tiba muncul dari balik lorong.

“EH KAGET!!” Dan konyolnya Hana malah berteriak seketika melihat kemunculan sang suster yang menegenakan pakaian serba putih.

Baik Yoshiki maupun sang suster menatap Hana aneh.

“A-ah maaf, habisnya muncul seseorang memakai pakaian putih dari balik Lorong yang gelap,” wajah Hana memerah malu akan kebodohannya.

“Ini istriku, Hana Kuroto. Dia akan menemaniku hari ini,” Yoshiki memperkenalkan Hana pada sang suster.

“Kalau begitu silahkan menuju ruangan bedah nol lima, pasien sudah menunggu anda. Saya akan menyiapkan beberapa anti radian untuk anda,” berikutnya sang suster kembali berjalan menuju Lorong lain yang sama gelapnya.

Melihat Yoshiki yang juga mulai melangkah, kaki Hana bergerak berusaha menyamai langkah sang suami, “Yoshiki-kun ini rumah sakit? Kenapa tidak ada pasien di sini? Dan…. Gelap sekali…” kepala Hana mengedar ke seluruh penjuru Lorong.

“Karena memang rumah sakit ini sudah ditinggalkan,” Yoshiki menjawab santai.

“Lalu tadi kenapa masih ada pasien?”

Yoshiki menolehkan kepalanya pada Hana, “pasien khusus.”

“Khusus?”

“Hn, sangat khusus bukan? Sampai seorang raja iblis yang harus turun tangan menangani.”

“Benar juga…” Hana mengangguk-anggukan kepalanya sepanjang Lorong, “memang dia kenapa? Terkena sihir?” Tanya Hana konyol.

Yoshiki tidak bisa menahan bibirnya untuk tidak tertarik ke atas, “kau bisa melihatnya sendiri ketika sampai, My Lady.”


.


“Silahkan, anti radian anda Kuroto-sensei,” seorang suster sudah siap dengan suntikannya.

“Hn, sebenarnya aku tidak memerlukannya.”

“Untuk prosedur kemanan saja sensei,” sang suster keras kepala.

Dengan dengusan malas, Yoshiki menggulung lengan bajunya untuk membiarkan sang suster memberinya anti radian.

“Berikan untuk istriku juga.”

“Baik, sensei.”

Yoshiki kembali menggulung lengan bajunya. Walaupun begitu pandangannya tertuju pada sang istri yang melihat dari balik ruangan dengan kaca tembus pandang yang besar. Wanitanya itu hanya beridiri menatapnya. Tak berapa lama sang suster datang memberikan suntikan anti radian pada Hana. Pencegahan memang diperlukan, apalagi Hana adalah sesuatu yang lain yang tidak bisa berjalan sesuai keinginannya. Memang benar seharusnya tubuh wanitanya itu telah kekal sebagai seorang iblis, tapi tetap saja ia tidak bisa tenang.

“Aku mulai,” dari arah dalam ruangan terdengar suara berat Yoshiki. Sebelum akhirnya pria itu benar-benar bekerja dengan memunggungi Hana dan sang suster.

“Anu, itu pasien?” Tanya Hana pada sang suster.

“Benar. Dia merupakan pasien percobaan.”

“Percobaan!?” Hana tidak bisa menahan dirinya untuk tidak terkejut.

Sang suster mengangguk, “Kuroto-sama tidak pernah menceritakan ini pada anda?”

Hana terdiam. Pandangannya kembali tertuju pada sang suami yang tengah sibuk menggerakkan tangannya pada sebuah tubuh. Sebuah tubuh yang mungkin sudah tidak berbentuk tubuh lagi. 

Benar. Dia tidak pernah mendengar cerita apapun. Dan kemungkinan penyebabnya adalah, dirinya yang terlalu dominan dan egois dalam percakapan mereka. Dirinya terlalu kekanak-kanakan membuat setiap pembicaraan hanya tertuju padanya dan permasalahannya. Tidak ada kesempatan bagi Yoshiki menceritakan kehidupan dan hari-hari yang sudah dilaluinya. Terlabih lagi akhir-akhir ini hubungan mereka tidaklah baik dan penuh masalah.

Kepala Hana menggeleng dengan berat, “tidak.”

“Begitu… kami adalah sebuah perusahaan yang bekerja di bidang kedokteran. Peralatan medis, dan obat-obatan pun kami suplai ke seluruh penjuru Jepang. Radiasi dan efeknya sangat jarang naik kasusnya ke permukaan. Selain memang kasusnya sangat-sangat jarang, kasus manusia yang terkena radiasi biasanya sangat mengerikan, seperti yang anda lihat, pasien sama sekali tidak berbentuk jika sudah terpapar radiasi yang sangat-sangat berlebihan. Oleh sebab itu kami mengadakan sebuah penelitian rahasia. Dan Kuroto-sensei adalah satu-satunya dokter yang sangat cocok dengan pekerjaan ini.”

“Kenapa bisa begitu?”

“Kuroto-sensei adalah dokter lepas yang padahal memiliki banyak lisensi praktik tapi sama sekali tidak bekerja di rumah sakit manapun. Dan Kuroto-sensei bersedia merahasiakan, dan melakukan praktik mengerikan yang kebanyakan ditolak dokter lain karena melanggar hak asasi manusia.”

Hana hanya bisa menganggukan kepala.

“Namun tenang saja, kami membayar Kuroto-sensei dengan harga yang sangat mahal. Mau bagaimanapun kami berhasil menemukan dokter seluarbiasa Kuroto-sensei adalah sebuah keajaiban.”

“Sangat mahal?”

Sang suster mengangguk, “karena ini penelitian rahasia dan beresiku, saya pun diberi gaji yang sangat mahal, Kuroto-sensei mungkin mendapat 1 juta yen untuk satu kali pengeluaran laporan.”

“S-satu juta yen!!?”

“Oh, Kuroto-sensei juga tidak bercerita masalah ini? Apa saya terlalu banyak bicara?”

“Tidak, tidak, terima kasih sudah memberitahuku,” Hana menggelengkan kepalanya cepat.

Sapphire Hana kembali tertuju pada sang suami yang nampaknya sudah tidak lagi melakukan sesuatu pada tubuh yang terlihat mengerikan itu. Ia tidak bisa berhenti kagum. Yoshiki memiliki banyak hal yang sama sekali tidak ia ketahui sebagai istrinya.

“Bodohnya aku…” tanpa sadar ia berguman.

“Maaf?” Sang suster di sampingnya yang mendengar itu lantas bertanya.

“Oh, tidak apa-apa,” dengan canggung Hana merespon.

“Ah benar juga, saya harus meminta sensei untuk menyelesaikan laporan 2 operasi sebelumnya,” sang suster kembali menceletuk.

“Sebelumnya?”

Sang suster mengangguk, “sensei bukan tipe orang yang akan menunda laporan. Namun sepertinya beberapa minggu lalu terjadi sesuatu pada sensei. Performa operasinya menurun dan beliau izin untuk membuat laporan setelah beberapa operasi kedepan. Kami mencoba memahami hal tersebut. Tapi karena sekarang sensei sudah kembali seperti semula, sepertinya saya bisa mengingatkan sensei untuk menyerahkan laporan.”

Hana terdiam. 

Beberapa minggu lalu yang dimaksud tidak lain pasti saat ia dengan tindakan anak kecilnya meninggalkan Yoshiki ke Australia bersama Keigo.

Apa yang sudah ia lakukan pada Yoshiki?


.


“Yoshiki-kun,” Hana memanggil nama pria yang tengah fokus menyetir di sampingnya. Keduanya sekarang dalam perjalanan menuju kantor.

“Hn?” Pria itu hanya merespon datar.

“Sampai liburan universitas selesai, aku ingin ikut Yoshiki-kun ketika bekerja.”

Ucapan tiba-tiba Hana membuat Yoshiki sempat menoleh tidak percaya kepada sang perempuan, “kau… yakin?”

Hana mengangguk mengiyakan, “lalu aku ingin mendengar keluhan Yoshiki-kun mengenai apa yang sudah Yoshiki-kun lalui.”

Kembali Yoshiki menolehkan kepalanya kepada Hana. Onyx gelap itu menatap sedikit tidak percaya. Sosok yang selama ini selalu membuatnya menahan diri sekarang malah menawarkan hal yang paling ia lakukan.

“Kenapa menatapku begitu sih?” Hana yang merasa ditatap aneh mulai protes dengan wajahnya yang semi memerah, malu.

“Hn, hanya terkejut.”

“Memangnya aneh!?”

“Tidak, aku jadi senang, sejujurnya.”

Sebuah kalimat singat dari Yoshiki, yang mampu membuat Hana merenung cukup lama.

Read More ->>

Kamis, 24 Juni 2021

Yami no Ai: AFTER WORLD [CHAPTER 64]

 CHAPTER 64: Treat Me

“Bagaimana makan malam tadi?” Ujar Yoshiki begitu mobil yang membawa mereka pulang telah berjalan beberapa menit.

“Oh, hahaha,” Hana menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal, “kukira tadi kita akan makan bersama, ternyata di pisahkan.”

“Hn? Sesuatu mengganggumu?’

Hana sempat kebingungan mencari kalimat begitu sang suami berhasil menebak kegundahannya, “mungkin aku yang butuh sedikit beradaptasi?”

“Ada apa My Lady?” Pria itu menatapnya serius.

“Yah, ini pertama kalinya bagiku makan malam bersama dengan para istri orang-orang penting. Aku cukup…. Kaku? Ehehe,” Hana tertawa garing.

“Kenapa begitu?”

“Umm, mereka menmbicarakan sesuatu yang biasa istri-istri sosialita bicarakan. Aku hanya tidak terbiasa dan tidak terlalu mengikuti perkembangan sosialita. Maaf Yoshiki-kun.”

“Hn?” Yoshiki menaikkan sebelah alisnya, “untuk apa meminta maaf?”

“Aku…. Menjelekkan namamu?”

Yoshiki memposisikan tubuhnya untuk sedikit condong pada Hana, “apa maksudnya?”

Hana semakin kebingungan mencari kata-kata untuk menjelaskan, “Bagaimana ya… Yoshiki-kun itu keren… seorang pengusaha besar di mata mereka… Namun aku tidak bisa mengimbangi Yoshiki-kun,” Hana menundukkan kepalanya, “dan selanjutnya mungkin mereka pasti memikirkan hal buruk tentangku, otomatis membuat nama Yoshiki-kun jelek.”

Yoshiki menghelakan nafasnya, kembali menyandarkan posisinya dengan nyaman, “ternyata hanya begitu.”

“Eh? Hanya begitu?” Hana menatap Yoshiki konyol.

“Aku ini Lucifer, My Lady. Hal tersebut tidak akan menurunkan namaku sama sekali. Mereka membutuhkanku maka mereka tidak akan berani macam-macam. Dan…. Akhirnya kau menyebutku keren.”

Wajah Hana memerah seketika, “Uh.”

Yoshiki terkekeh kecil, “kau sering sekali mengatakan aktor ini keren, dosen ini keren, entahlah siapapun itu keren. Tapi cukup jarang memuji suamimu. Padahal suamimu jauh lebih dari mereka dari segala aspek.”

“Ya habisnya aku kan selalu melihat Yoshiki-kun, mungkin mataku sudah terbiasa dengan Yoshiki-kun yang seperti ini adalah hal yang biasa.”

Pria itu menyandarkan kepalanya pada tangan yang ia sandarkan pada jendela mobil, “selalu melihatku, eh?” Wajah Yoshiki menunjukkan sebuah seringai tipis.

“A-apa?”

“Kalau begitu untuk seterusnya My Lady. Tetaplah seperti itu. Kau hanya perlu melihatku. Hanya diriku saja. Jika kau kembali melirik pria lain, sepertinya aku perlu menerapak kedisiplinan untukmu.”

“Ehh apa ini? Sejak kapan Yoshiki-kun menjadi kinky?” Kedua sapphire Hana menatap Yoshiki berpura-pura ketakutan.

“I’m always kinky, My Lady. But in a normal way, we can increase the level if you want to,” pria itu balik menatap Hana dengan sebuah seringai.

“Ahahaha tidak usah bila begitu,” tawa Hana garing, “ah soal itu, jadi teringat tadi ada istri si pengusaha perhiasan yang ternyata dulu adalah matan sugar babynya suaminya yang sekarang.”

“Hn, Kusano Aya, istri dari Kusano Kenji.”

“Benar, Kusano Aya-san. Aku tidak menyangka ada hubungan sugar daddy-baby yang berakhir dengan manis sepeti itu.”

Tangan Yoshiki tiba tiba menarik tangan Hana, membuat tubuh wanita itu menjadi sangat dekat dengan sang suami, “bagaimana jika kau menjadi sugar baby ku?”

“HAH!?” Hana menarik tubuhnya terkejut.

Pria itu kembali terkekeh, “sepertinya kita perlu melakukan roleplay-sex suatu saat nanti.”

“A-aa… aku tidak meyangka harga cincin ini akan semahal itu,” Hana memalingkan wajahnya yang memerah, dan buru-buru mengganti topik pembicaraan.

“Hn?” Pria itu menaikkan alisnya.

“Kusano Aya-san yang memberitahuku. Tadi waktu para istri yang lain memamerkan cincin pernikahan Fox-san, cincin ini dibandingkan. Mereka sempat meragukan karena cincn ini memiliki berlian lebih kecil daripada milik Fox-san. Tapi untunglah Aya-san membalikkan keadaan. Aya-san memberitahu jika harga cincin ini hampir menyentuh 22-24 juta dollar.”

“Tidak diragukan lagi Kusano sebagai pengusaha jewellery. Lebih tepatnya harga cincin itu 24,70 juta dollar. Aku memutuskan menggunakan ukuran berlian yang lebih kecil karena kukira kau akan merasa aneh dengan hiasan yang berlebihan. Kau pasti akan lebih suka dengan plain design. Hn? Kau kenapa?” Fokus pria itu teralih pada sang wanita yang memunggungi dirinya sekarang.

“Nolnya banyak sekali jika dijadikan yen ya,” sekarang mata Hana nampak berputar, “ah daripada itu, Yoshiki-kun aku minta maaf telah membuang cincin seharga 24,70 juta dollar ini ke waduk waktu itu!”

Pria itu menaikkan sebelah alisnya, “memangnya kenapa?”

“Habisnya harganya mahal sekali kan? Bagaimana jika cincinnya tidak ketemu? Lagipula sepertinya apakah aku akan merusak berliannya karena sudah melemparkannya ke dalam air wad—”

“Hahh…” Pria itu menghela nafas berat. Kali ini pandangannya hanya tertuju pada jalanan malam.

“Yoshiki-kun…?”

“Waduk itu dalamnya lebih dari sepuluh meter, kau tau siapa yang menemukkan cincin itu di tengah gelapnya air dan bertanah liat?”

Hana menggelengkan kepalanya.

“Aku.”

“Eh?” Hana tidak bisa menahan keterkejutannya.

“Aku tidak bisa menggunakan kuasaku untuk menemukan cincin itu karena cincin itu adalah bagian darimu dan merupakan pengecualian untuk kuasaku. Jadi malam itu aku benar-benar kesusahan mencari cincin itu. Aku tidak bisa menunggu pagi. Siapa yang akan tau arus akan membawanya ke mana. Jadi setelah kau meninggialkanku bersama si sialan itu, aku melompat ke dalam danau.”

“A-ah….” Hana mulai kehilangan kalimat.

“Aku tidak mempermasalahkan harga. 20-30 juta dollar bukanlah suatu masalah untukku. Apalagi jika itu untukmu. Yang menjadi masalah adalah cincin itu adalah satu-satunya benda fisik yang bisa menjadi bukti jika kau dan aku ada dalam satu ikatan.”

Hanya hanya pupil Hana yang bergerak menyesuaikan intensitas cahaya.

Keheningan seketika menyeruak di dalam sedan hitam itu. Hanya suara aktifnya jalanan malam yang mengisi kekosonan.

Bibir Hana nampak bergerak beberapa saat, namun kembali terkatup kemudian.

“My Lady, apa kau bermasalah jika seluruh dunia tau apabila kau milikku?”

Hana terdiam.

“Apa kau tidak suka jika suamimu adalah aku? Apa di luar sana ada pria yang lebih baik dariku?”

Tidak ada jawaban dari Hana.

“Ketika kau melarikan diri bersama si sialan itu aku benar-benar seperti sudah gila. Aku menenggelamkan diriku dalam berbagai kesibukan. Mengikuti beberapa pertemuan, dan pada salah satunya, aku merasa iri dengan semua makhluk yang derajatnya jauh di bawahku, mereka bisa berbahagia membawa istri mereka. Bagaimana denganku? Istriku dibawa kabur pria lain,” rahang pria itu mengeras sebelum mengumpat, “sialan!”

Onyx pria itu sedikit melirik kepada sang wanita berharap mendapati sesuatu, namun wanitanya itu hanya tertunduk saja.

Sebuah helaan nafas kembali terdengar.

Puk

Tangan pria itu menpuk kepala hitam sang wanita.

“Jangan lepaskan lagi cincin itu. Bukan karena harganya. Tapi cincin itu adalah benda penting yang menunjukkan ikatan kita. Mengerti?”

Perlahan kepala hitam wanita itu terangkat, dari situ pria itu bisa melihat jelas ada sedikit air mata mengalir dari pelupuk sapphirenya.

Wanita itu perlahan mengangguk.

“.....” ditariknya kepala hitam itu untuk bersandar pada bahunya.

Cukup lama posisi itu bertahan. Usapannya pada rambut sang wanita tidak berhenti hingga beberapa saat.

“Ehem.” Pria itu sedikit berdehem membersihkan tenggorokannya, “lebih sering manjakan aku berikutnya.”

“Eh?” Seketika kepala hitam wanita itu terangkat.


.


Perlahan namun pastin sapphire Hana terbuka dan disambut oleh cahaya matahari yang berhasil menyusup ke dalam jendela kamarnya.

“Geserkan pertemuan jam 11 siang ke sore hari terserah pukul berapapun.”

“Maaf My Lord, apa ada masalah di jam itu?”

“Jam 12 adalah jam makan siang…”

Samar-samar indra pendengarannya mulai aktif menangkap beberapa suara.

Di tengah pupilnya yang mulai membiasakan dengan insensitas cahaya yang ada, ia bisa melihat punggung suaminya. Punggung telanjang suaminya menghadap seseorang—seorang wanita.

Seketika kedua matanya terbuka lebar memastikan siapa wanita yang ada di hadapan suaminya.

“… dan aku perlu makan siang bersamanya.”

“Baik My Lord, saya permisi,” sang wanita yang merupakan asisten pribadi suaminya itu undur diri meninggalkan ruangan.

Suara selimut yang digesek dengan kasar membuat kepala dengan rambut jaged berantakan itu menoleh mendapati wanitanya meregangkan tubuh. Bibir tipisnya tersenyum, “selamat pagi, My Lady.”

“Ughh… selamat pagi,” jawab Hana di tengah erangannya.

Pria itu dengan gerakan cepat merangkak ke atas ranjang dan tubuh Hana.

“Hei… hei… hei…” seketika wajah Hana meemerah begitu wajah sang suami berada sangat dengan dengan wajahnya.

“A-ada apa?” Hana tertegun. Ia tidak bisa menahan diri untuk melihat betapa indahnya sosok di hadapannya. Wajah tampan pria itu sangat sempurna. Di tambah sekarang sang pria hanya mengenakan celana kainnya dengan bertelanjang dada, memamerkan otot otot kekar dengan volume yang menurut Hana sangat pas—tidak kurang tidak lebih.

“Tidak ada,” jawab pria itu datar.

“T-Tidak ada? Lagipula Yoshiki-kun kenapa bertelanjang dada begitu sih!?”

“Hn? Kau tidak suka?”

Wajah Hana memerah, “ya… aku tidak bilang tidak suka sih…” 

Chu.

Sebuah kecupan mendarat pada bibir Hana.

“!!!” Wanita itu hanya bisa menahan nafasnya.

“Aku ada meeting pagi ini dan kembali saat makan siang. Kita akan makan siang bersama, mengerti?”

Dengan ragu Hana menganggukkan kepalanya.

Pria itu beranjak dari ranjang dan menuju wardrobe, “apa yang akan kau lakukan sampai siang nanti?”

“Uumm… bermain game?” Jawab Hana tidak yakin.

“Sebentar lagi kuliah akan dimulai lagi, My Lady.”

Begitu pria itu keluar dari ruang ganti dengan mengenakan sebuah kemeja berwarna keabuan, ia mendapati gundukan selimut di atas ranjang, menutup seluruh keberadaan Hana.

“Aku malas belajar,” ujar wanitanya itu merajuk.

“Mau kursus bahasa Inggris? Untuk mengisi kekosongan waktu,” pria itu berujar sambil merapikan kemejanya.

“Huungg…” sosok berkepala hitam itu menarik dirinya dari balik selimut, menunjukkan betapa berantakannya rambut pendeknya, “aku bisa belajar bahasa Inggris dari game.”

“Namun nyatanya kamu tidak bisa memahami kuliah yang kuberikan,” pria itu sedikit menggoda.

Pipi Hana sedikit menggembung, “ya kan yang dibahas sesuatu yang bukan bidangku.”

Pria itu terkekeh kecil, “jika kau membutuhkan kursus apapun kau bisa meminta padaku. Akan kusediakan guru terbaik untuk mengajarimu. Tentu saja, gurunya perempuan.”

“Eeeh membosankan, padahal aku berharap gurunya kakak-kakak tampan yang punya charisma ketika mengajar sehingga membuatku semangat,” wanita itu balik menggoda, membalas sang pria.

Di luar dugaan, godaan konyol Hana membuat wajah Yoshiki sedikit tertekuk, pria itu tidak suka. Terlihat untuk beberapa saat pria itu membuka mulutnya, hendak mengatakan sesuatu, namun mengurungkannya.

‘Eh? Apa barusan? Dia marah? Astaga lucu sekali!!!’ Batin Hana berteriak.

“A-anu, tadi hanya bercanda kok Yoshiki-kun,” Hana sweatdrop.

“Hn. Aku tau. Tapi rasanya menyebalkan juga,” pria itu merespon datar sementara tubuhnya terus bergerak mengenakan jas dan merapikan dirinya, menciptakan sosok tampan dirinya.

“Sementara aku akan mencoba belajar sendiri. Jika kesusahan aku akan memberitahu Yoshiki-kun. Yoshiki-kun akan mengajariku kan?”

Kepala pria itu yang awalnya tengah fokus menyiapkan berkasnya tiba-tiba terarah pada sang wanita, “tentu,” bibir Yoshiki sedikit tertarik ke atas, “aku akan mengajarimu.”


.


“Yoshiki-kun!” Hana membuka pintu perpustakaan dan mendapati sosok yang dpianggilnya tengah berdiri di tepi pintu membenarkan letak jasnya.

“Hn, ayo kita makan siang.”

Anggukan kecil diberikan Hana, “ayo.”

Pria itu menjulurkan tangannya. Tidak seperti beberapa minggu-minggu lalu, tangan pria itu kini disambut dan digenggam. 

“Kita akan ke mana?” Kepala Hana sedikit terangkat ke samping, mengamati wajah pria yang berjalan di sampingnya, menggenggam tangannya erat.

“Kau ingin ke mana?” Pria itu malah balik melemparkan pertanyaannya.

“Umm, aku ingin hamburger, soda, kentang goreng, prekedel….”

“Itu semua junk food kau tau?” Yoshiki melirik Hana sekilas.

“Tapi aku ingin!” Tak memperdulikan ketidaksukaan Yoshiki, Hana memberikan senyum lima jarinya.


.


Walaupun pria itu mendengus tidak setuju berkali-kali, pada akhirnya pria itu tetap membuka kertas pembungkus burgernya.

“Umm… ada apa Yoshiki-kun? Pesananmu salah?” Di hadapannya, wanitanya itu tengah dengan lahap mengunyah burger dan kentang goreng secara bersamaan.

“Hn…” sembari mendengus, pria itu mengigit burgernya dengan enggan.

“Ini enak lohh! Ah aku boleh menambah 2 burger lagi Yoshiki-kun?”

Pria itu masih mengunyah gumpalan daging dan roti dalam mulutnya, namun mengangguk beberapa saat kemudian.

“Yash!” Dengan semangat Hana mengkombinasikan makanan dalam mulutnya dengan beberapa perkedel daging.

“Ini hanya junk food di restoran cepat saji… kenapa kau bersemangat sekali?” Yoshiki tidak bisa habis pikir dengan wanita di hadapannya.

Tak mempedulikan gumanan kesal sang suami, Hana melanjutkan kunyahannya seolah menikmati setiap kecapannya.

“Aku berencana mengajakmu makan siang pada restoran hotel di dekat Roponggi sebenarnya.”

“Ehh jwauh skwali,” Hana merespon cepat walaupun mulutnya penuh dengan makanan.

“Telan dulu makananmu,” Yoshiki sweatdrop.

Hana menelan bulat-bulat makananya, “Ke Roponggi untuk makan siang saja bukannya sedikit berlebihan?”

“Untuk seorang penguasa dunia bawah dunia ini?”

“Yah… hehe,” Hana memerkan senyum lima jarinya.

Sementara itu dari luar restoring cepat saji itu, seorang wanita dengan rambut ikal coklatnya hanya menatap dengan penuh penghinaan, “aku ditolak demi wanita konyol seperti itu? Yang benar saja.”


.


Grim Impact berikutnya memiliki update data yang besar.

Yoshiki mengirimkan sebuah chat pada ruang obrolannya yang bertuliskan ‘Mine’.

Parah sekali, pasti aka nada banyak karakter baru yang muncul.

Pesan dari Hana datang.

Sekarang entah mengapa setiap ia memiliki waktu senggang, ia selalu menyempatkan diri untuk berbicara dengan sang istri entah serandom apapun itu topik pembicaraannya.

Jarinya sudah bersiap mengetik beberapa kata untuk balasan hingga ketukan pintu ruangannya membatalkan niatnya.

“Masuk.” Responnya dalam.

Pintu terbuka dan sosok yang telah berani menginterupsinya adalah Shiroi Tenko. Wanita pemilik grup Tenko. Wanita yang seperti orang gila mengejar-ngejarnya beberapa bulan terakhir.

“Hn, ada apa Tenko-san?” Yoshiki bertanya datar.

“Ternyata benar cincin yang kamu gunakan itu cincin pernikahan.” Perempuan itu tiba-tiba berbicara dalam posisinya yang masih berdiri dan melipat tangan.

Yoshiki menghela nafas malas, “lagi pula kenapa anda tidak percaya Tenko-san? Saya sudah menikah.” Yoshiki berbalik menggunakan kalimat sopan.

“Tch!” Perempuan itu berdecak dan mengalihkan pertanyaan Yoshiki, “sekarang aku tahu siapa istrimu.”

“Hn?” Kepala Yoshiki sedikit terangkat sekarang.


Read More ->>

Kamis, 27 Mei 2021

Yami no Ai: AFTER WORLD [Chapter 63]

 CHAPTER 63: SPOILED HUSBAND

“A-Apa masih kurang?”

“Hn? Kurang?”

Sedikit mengalihkan wajahnya Hana berujar, “darahku, kemarin kan hanya dari rembesan luka saja. Jika itu masih kurang, Yoshiki-kun boleh mengambil lagi.”

Yoshiki terdiam beberapa saat sebelum akhirnya tersenyum cukup lebar, “kau mengizinkanku meminum darahmu My Lady?”

“J-Jika masih kurang!”

“Hn… untuk memenuhi perjanjian darah, darahmu kemarin sudah sangat cukup. Namun untuk memuaskan dahagaku… tentu saja kemarin sangatlah kurang.”

Hana mengangguk, “kalau begitu, silahkan,” Hana sedikit mengangkat kepalanya untuk memperlihatkan lehernya dengan ragu.

“….” Yoshiki kembali terdiam beberapa saat menatap leher tan Hana yang tanpa pertahanan apapun.

Sudah berapa lama ia menunggu dan cukup menderita karena hal ini? Menunggu Hana tanpa berat hati mengizinkan dirinya meminum darahnya. 

“Umm? Yoshiki-kun?” Hana mengambilkan Yoshiki dari pikirannya.

Sebuah senyum lembut terpatri pada bibir pria itu, “Itadakimasu,” ujarnya sebelum menggores leher Hana dengan kuku jarinya hingga menciptakan luka tipis dan mengalirkan darah kental dari sana. Perlahan lidahnya  menyapu bersih setiap lelehan darah yang keluar.

Sementara rasa geli menjalar pada leher Hana, ruam merah perlahan menguasai wajahnya.

“Lcchh—”

Dan mau bagaimanapun suara yang Yoshiki hasilkan dari kegiatannya menimbulkan bunyi-bunyian yang terdengar sensitive bagi Hana.

“Uhm…” Tanpa sadar bibir Hana melenguh tipis.

“Terima kasih makanannya,” Yoshiki menarik diri dari leher Hana, dan beralih pada nakas untuk mengambil kotak P3K dan meneluarkan plester luka dari sana.

“Sudah?”

Yoshiki mengangguk dan menempelkan plester luka pada leher Hana, “jika kuteruskan kau akan terkena anemia.”

BRUK

Tiba-tiba saja pria itu menjatuhkan tubuhnya di atas tubuh Hana. Ditariknya selimut hingga menutupi bahu bidangnya. Kedua matanya terpejam sementara tangannya bergerak meraba-raba salah satu belahan dada perempuan berambut pendek itu dengan lembut.

“My Lady… dadamu lembut,” guman pria itu.

Ruam merah seketika menyebar pada wajah Hana, “a-apa-apaan Yoshiki-kun!?”

“Lately I’m so missed to cuddle with you. I miss how soft your breasts are.”

“M-memangnya selembut itu?”

“Hn…”

“P-padahal dadaku tidak besar.”

“Lalu?”

“T-tidak sebesar dada perempuan-perempuan yang pernah Yoshiki-kun tiduri.”

Seketika kepala pria itu terangkat, menatap wajah Hana dengan pandangan kesal, bukan pandangan datar seperti yang biasa ia berikan.

“Ada apa?” Tanya Hana ragu.

“Hn… tidak, aku hanya kesal.”

Hana tau pria itu sedang kesal tanpa diberi tau sekalipun, “kenapa sampai kesal?”

“Aku memang pernah tidur bersama banyak perempuan, namun sekarang hanya ada kau My Lady. Aku milikmu, dan hanya milikmu. Kau mengerti?”

TOK TOK

Suara ketukan pintu menginterupsi keduanya.

Sebelum merespon, “masuk,” pria itu sempat menghela nafas berat.

Pintu berdaun dua itu terbuka, menampakkan sesosok perempuan berambut pendek rapi dengan kemeja dan vestnya, “Selamat pagi, My Lord. Pukul 10 pagi ini anda memiliki jadwal kuliah tamu untuk Sir William Dunn School of Pathology, Universitas Oxford. Lalu pukul 7 malam untuk makan malam bersama Sir. Fox Bingham pemilik fondasi amal Bingham.”

Tangan Yoshiki bergerak mengisyaratkan sang perempuan untuk segera enyah. Mematuhi apa yang diperintahkan sang tuan, perempuan itu menundukkan kepala hormat dan kembali menutup pintu untuk undur diri.

“Itu… siapa?” Hana tidak familiar dengan wajah perempuan itu.

“Sekretaris.”

“Sekretaris baru?”

“Hn…” Yoshiki kembali menjawab malas, sementara ia meletakkan kepalanya pada dada Hana.

“Memangnya Tomuro-kun kemana?”

“New Delhi. Lagipula Tomuro bukan sekretarisku.”

“Eh? Lalu siapa selama ini?”

“Entahlah. Hazel yang terkadang membantuku, namun sekarang dia harus menyelidiki Exorcist. Lagipula sebelumnya aku tidak terlalu turun tangan pada pekerjaanku, aku selalu menggunakan orang lain. Baru sekarang aku kembali ingin bekerja secara langsung lagi.”

“Kenapa begitu?”

“Kenapa?” Yoshiki menaikkan wajahnya menatap Hana, “tentu saja untuk mengisi kekosongan saat kau meninggalkanku.”

“Eh?”

Yoshiki kemabli meletakan kepalanya pada dada Hana, “sekarang kau sudah kembali, aku tidak ingin melakukan pekerjaanku lagi.”

Pria itu meraih pinggang Hana dan mendekapnya erat, “aku ingin seperti ini saja,” gumanan itu terdengar setelah kepala sang pria digesekkan berkali-kali pada dada Hana.

Hana menggelengkan kepalanya tidak percaya. Kuroto Yoshiki yang selama ini ia lihat adalah sosok tangguh, absolut, dingin, tegas. Tapi apa yang ia lihat sekarang? Tidak lebih dari sesosok pria manja, rapuh, lemah, dan…. Menggemaskan. 

“Y-Yoshiki-kun, kamu harus bekerja. Apa itu tadi? Aku mendengar tentang Univeristas Oxford?”

“Hn, aku harus memberikan kuliah mengenai Vulvar Pathology,” Yoshiki menjawab dengan tetap mengubur kepalanya pada dada Hana, membuat suaranya agak tidak terlalu jelas terdengar.

“Umm, kedokteran?”

Kepala pria itu bergerak ke atas ke bawah membenarkan.

“Umm, aku tidak tau itu apa, tapi sepertinya keren, boleh aku lihat Yoshiki-kun saat memberikan kuliah?”

Seketika tubuh dan kepala Yoshiki terangkat, “tentu kau boleh. Tunggu, aku akan bersiap-siap,” dan pria itu bergegas menuju kamar mandi untuk membenahi dirinya.

Sapphire Hana hanya mengikuti punggung pria itu sebelum akhirnya menghilang dari balik kamar mandi, ia tersenyum tipis, “dasar Yoshiki-kun.”


.


“… cause cancer the first one high risk HPV strains. Because it caused your cell cycle to rev up cause cells to grow more and they can mutate more, so they can be from HPV which is the most common or we also talked about things like lichen sclerosis like a simplex Krakus chronic inflammation.”

‘Uwaaah… keren sekali…’ batin Hana dengan ekspresi konyolnya menatap sang suami yang tengah melakukan video conference.

“Professor I have a question.”

“Sure. Go on,” respon Yoshiki.

‘Uwaaah, bahkan dipanggil professor. Yah, memang professor sih,’ lagi-lagi Hana menatap Yoshiki dengan pandangan konyol.

Hana menyesap sebuah the dengan madu yang disajikan oleh maid bersama dengan potongan brownies penuh krim sementara sapphirenya sama sekali tak teralihkan pada sang suami yang masih berbicara dalam bahasa inggris. Hana tidak terlalu memahami hal yang diucapkan sang suami sebenarnya.

‘Apa sih aku ini, sok-sokan sekali ingin mendengar padahal tidak paham apapun. Yah, materi kuliahku sendiri saja terkadang aku tidak paham, apalagi materi perkuliahan kedokteran, dengan bahasa inggris pula,’ Hana merutuki dirinya sendiri.

“…. Alright thank you for your attendance, it’s my pleasure to teach you all about pathology,” dengan kalimatnya tersebut, Yoshiki bangkit dari kursinya. Kuliahnya telah berakhir.

“Sudah selesai?” Tanpa Hana sadari, waktu 2 jam telah terlewati dengan cepat.

“Hn… bagaimana kuliahku menurutmu?” Kuroto Yoshiki berjalan ke arahnya.

“Eh? Yah..” Pandangan Hana menghindari pandangan Yoshiki, “aku tidak paham apapun sejujurnya.”

Yoshiki tertawa renyah begitu meletakkan pantatnya pada kursi di hadapan Hana, “it’s hard for you to understand my lecture?” Kali ini Yoshiki sengaja menggunakan logat British yang benar-benar susah didengar.

“A-apa?” Hana menatap konyol Yoshiki.

Lagi, pria itu tertawa renyah. Puas.

“…. Yoshiki-kun sedang menggodaku?”

“Apa kuliahku sangat susah dimengerti untukmu?” Pada akhirnya pria itu mengulangi kalimatnya dengan bahasa Jepang.

“Sebenarnya mungkin dari faktor bahasa yang membuatku tidak mengerti,” jawab Hana dan disusul dengan penyuapan sepotong brownies pada mulutnya.

Chu~

Kedua mata Hana terbelalak seketika. Dalam hitungan detik bahkan sebelum ia sempat mengunyah brownies dalam mulutnya, dagunya sudah ditarik dan bibirnya dikecup sembarangan.

“A-apa?” Ruam merah menguasai wajah Hana sesudah Yoshiki kembali melepaskan dagu Hana.

“Bibirmu manis,” tak menjawab pertanyaan sang istri, Yoshiki malah sibuk mengomentari, “hn, rasa madu dan brownies.”

“Tentu saja aku kan baru memakannya!” geram Hana, “hei kamu belum menjawab pertanyaanku!”

“Hn, pertanyaan yang?” Pria itu merespon santai sembari meletakan pantatnya di samping Hana.

Wajah Hana kembali meledak merah, “kenapa Yoshiki-kun tiba-tiba menciumku!?”

“Tidak boleh?” Yoshiki dengan santai membalik pertanyaan Hana.

“E-eh, boleh sih,” jawab Hana gagap.

“Energy charging.” Jawab Yoshiki cepat.

“P-pengisian energi? Eh? Energi sihir?” Hana memiringkan kepalanya konyol.

Onyx Yoshiki melirik Hana kesal, “Hn, itu hanya bonus. Aku lelah bekerja tadi. Maka aku butuh pengisian energi darimu.”

“Tapi kan hanya memberikan kuliah selama 2 jam,” ucap Hana polos.

Muncul kerutan emosi pada dahi Yoshiki, namun pria itu tetap dalam wajah stoicnya, “terserah, yang penting aku sudah mendapatkan bibirmu.”

“C-cih,” Hana gagal menggoda Yoshiki lebih jauh lagi.

“Nanti malam aku ada makan malam bersama Fox dan beberapa petinggi lain. Kau harus ikut.”

“Eh?”


.


‘EEEEEEEEEEEEHHHHHHHHHH!!!!???????’ Hana tidak bisa menahan teriakan dalam dirinya.

‘Apa… apaan ini?’ Hana terjebak.

Perempuan berambut pendek itu tengah duduk diantara meja bundar yang dikelilingi para istri sosialita. Dari samping kanan sampai samping kiri semuanya adalah istri dari sosok terkenal dan penting.

‘Uwaaa…. Lihat semua yang mereka kenakan…’ Hana tidak bisa menahan sweatdropnya. Para istri itu mengenakan perhiasan yang nampak mahal pada leher, pergelangan tangan, hingga jari mereka. Belum lagi kilauan dari pernak Pernik hiasan pada pakaian mereka.

‘Sial, sepertinya aku satu-satunya alien di sini.’

Mau bagaimanapun Hana sedikit banyak bersyukur datang dengan pakaian yang sudah disiapkan maid sehingga setidaknya ia merasa sedikit pantas.

“Lihat lihat itu The Winston Blue,  astaga anda sangat beruntung sekali Fox-san,” ujar salah seorang wanita.

‘Ah, bahkan mereka berbicara dengan bahasa Inggris sekarang. Mati saja aku,’ batin Hana meraung-raung.

“Ini yang harganya hampir menyentuh 24 juta dollar itu kan?”

Hana menahan diri untuk tidak menyemburkan minumannya. 24 juta dollar kalau dijadikan yen… lebih dari 24 triliun yen! 

“Astaga benar-benar beruntung anda bersama tuan Fox!”

“Cantik sekali!”

Para ibu-ibu muda itu nampak memuji berlian yang mengait jemari Mrs. Fox.

“Mrs. Kuroto benar?” Tiba-tiba suara itu tertuju pada Hana dan rasanya jantung Hana seolah berhenti mendengarnya.

“I-iya?” Jawab Hana kaku.

“Bagaimana dengan cincin pernikahan anda Mrs. Kuroto?” Wanita itu menatapnya—aneh.

‘Ah, mati aku.’

“A-ah, s-saya tidak tau banyak soal berlian, tapi… ada sesuatu kecil di tengah-tengahnya,” Hana dengan ragu melepaskan cincin pernikahannya, mengizinkan siapapun mengamati.

“Iya kecil juga ya…” para wanita itu memutar-mutar cincin pernikahan Hana.

“Tapi bentuknya cantik dan elegan.”

“Ini apa? Silver?”

“Sepertinya tidak sebanding dengan milik Mrs. Fox yang berliannya cukup besar dan terbuat dari emas murni?” Mereka mulai bergunjing.

Mrs. Fox dengan wajah congkaknya mulai tertawa meremehkan, “mungkin Mr. Kuroto memiliki selera tersendiri.”

“Apakah Mr. Kuroto cukup pelit?” Mereka terus bergunjing.

“Padahal ini untuk cincin pernikahan loh.”

Telinga Hana panas.

“Yah mau bagaimana lagi? Apa Mr. Kuroto merasa tidak nyaman dengan pernikahannya?”

“Anu!” Hana bangkit dari kursinya, “S-Saya tidak keberatan jika saya yang diejek. Tapi tolong jangan Yoshiki-kun!” Dengan kesal Hana berbicara dengan bahasa inggris yang belepotan.

“Konyol,” tiba-tiba suatu suara perempuan terdengar. Seketika seluruh pandangan terarah pada sesosok wanita elegan dengan dress putihnya tengah menyendiri menikmati minumannya.

“Berlian kecil itu disebut The Heart of Eternity, seharga 16 juta dollar. Lagipula itu bukan silver. Itu Platinum, harganya 30 kali lipat daripada emas karena langka. Belum biaya desain dan pembuatan pribadi sebagai komisi. Untuk satu cincin itu bisa menjapai 22 juta dollar.”

‘Eh?’ Hana membeku di tempatnya.

’22 Juta Dollar? Itu kalau dijadikan yen…. 2 Triliun Yen… eh? Jadi cincin yang beberapa hari lalu kubuang di waduk itu…. Eh? Eh? EEEEEEEEEEHHHHH???’ Hana berkeringat dingin sekarang.

Bisikan demi bisikan terdengar, tidak ada yang mampu menyangkal ucapan sang wanita lantaran sang wanita adalah istri pengusaha perhiasan terkenal.

“Yah, tidak heran untuk seorang istri Kuroto Yoshiki,” Fox berguman menahan rasa kesalnya.

“Benar indah sekali…”

“Cantik…”

Para istri yang daritadi hanya mengungkapkan ketidaksukaan mulai memuji entah tulus atau tidak.

Begitu cincin tersebut dikembalikan, Hana kembali menyematkan cincin tersebut pada jari manisnya. Kilauan biru permata kecil tersebut berpendar dengan indah memang.

’22 Juta Dollar…’ pikiran Hana tidak bisa berhenti memikirkan bertapa luar biasa mahalnya benda yang menempel pada jarinya tersebut.

Makan malam kali itu benar-benar membunuh Hana. Suasana nya bagaikan langit dan bumi. Hana benar-benar yakin tidak bisa bergaul dengan siapapun di meja itu. Mereka membicarakan hal-hal yang benar-benar Hana tidak mengerti. Produk kecantikan, fashion, semuanya tidak bisa Hana mengerti.

Tapi tak bisa Hana pungkiri, semua istri dari para petinggi sangatlah cantik. Hana bahkan tidak yakin jika mereka adalah ibu-ibu mengingat wajah mereka sangatlah mulus jauh dari keriput.

‘Astaga apa yang kulakukan di sini…’ Hana berguman pada dirinya sendiri sembari meneguk sebuah wine putih.

“Saya juga tidak bisa bergaul dengan mereka,” sebuah suara menginterupsi lamunan Hana.

Wanita cantik yang tadi menyebutkan harga cincinnya. Hana hanya bisa menatap konyol wanita yang ada di sampingnya.

“Nama saya Kusano Aya,” ujar sang wanita seolah menebak wajah konyol Hana.

Hana menundukkan kepalanya sekilas, “saya Hana Kuroto.”

“Saya tau. Mana mungkin saya tidak tau istri bos suami saya,” wanita itu tersenyum manis.

“Tadi terima kasih sudah membantu,” dengan konyol Hana menundukkan kepalanya lagi.

Wanita itu tertawa, tawa yang cukup elegan menurut Hana, “anda baik dan polos sekali. Sepertinya anda mirip dengan saya yang dulu.”

“Eh?”

“Umur saya masih 20 tahun loh.”

“EH— Sama,” Hana shock.

“Saya mantan sugar baby suami saya sejak usia 17 tahun. Saya hanya siswa miskin dari desa yang datang ke Tokyo untuk memband. Karena tanpa persiapan matang semuanya kacau balau. Saya bekerja di zona merah dan saya bertemu suami saya. Syukurlah bukan?” Wanita itu kembali tersenyum elegan.

Kepala Hana melayang. Dengan nama Kusano yang muncul di kepala Hana adalah sosok pria berusia 45 tahun, si pengusaha tambang.

“EEEEEHHH???” Hana kembali shock menyadari umur dan rupa Kusano Rintarou.

Read More ->>

Rabu, 05 Mei 2021

Yami no Ai: AFTER WORLD [Chapter 62]

 CHAPTER 62: TRIGGERING WOUND

“Kenapa? Masak bersama untuk makan malam adalah hal normal yang biasa dilakukan pasangan bukan?”

“Ya memang sih,” Hana semakin menduga jika apa yang dilakukan pria itu dikarenakan insiden kaburnya dirinya dengan Keigo Yasumoto.

“Lihat lihat cowok itu. Yang pakai mantel itu. Dia cakep banget.”

“Eh itu yang di sampingnya pasti pacarnya.”

“Pacarnya? Serius? Penampilan keduanya bagaikan langit dan bumi kau tahu. Mana mungkin cowok seganteng itu mau pacaran dengan perempuan kusut seperti itu.”

“Tapi dia pakai cincin loh.”

“Yang perempuan tidak, berarti memang bukan pacarnya.”

Semuanya jelas terdengar bagi Hana maupun Yoshiki. Dua orang perempuan di belakang mereka tengah menbicarakan mereka.

“….” Hana hanya terdiam mendengarnya.

“Permisi, apakah kalian tahu dimana tempat Pare?”

Seketika Hana mengangkat kepalanya begitu menyadari jika Yoshiki mendekati kedua perempuan itu.

“Eh? Ah, Um… dimana ya tadi?”

“K-Kalau tidak salah di dekat deretan tomat y-ya?”

Yoshiki hanya menatap datar keduanya yang salah tingkah di hadapannya.

“K-Kakak suka pare ya?”

“Hn?” Yoshiki menaikkan sebelah alisnya, memberikan tatapan penuh seduktif dan mendekatkan wajahnya, memancing keduanya ikut mendekatkan wajah, “benar, aku menyukai memasukkan pare ke dalam mulut kalian yang pahit itu. Kalian kira kalian lebih baik daripada istriku? Kalian tidak lebih dari perempuan penggoda. Lebih baik kalian fokus belajar dan menjadi pintar karena kalian sangat terlihat bodoh di hadapanku,” bisiknya.

“!!!!???” Keduanya berjingat ke belakang seketika.

“C-Cih, apa sih! Mentang-mentang ganteng!” Gerutu mereka sambil berlari pergi.

Sebuah seringai tipis terbentuk pada bibir Yoshiki.

“Mereka kenapa?” Hana muncul dari arah belakang.

“Hn? Pergi untuk membuat diri mereka lebih pantas mungkin?” Jawab Yoshiki acuh.


.


Suara pisau yang memotong motong wortel terdengar menggema di dapur mansion yang luar biasa luas dan lengkap namun hanya dihuni oleh Hana dan dua orang koki.

GRAB

Sebuah pelukan lantas menghentikan aktivitas Hana. Membuat perempuan berambut pendek itu kaget.

“Ada yang bisa dibantu?” Suara berat Yoshiki mengalun pada daun telinganya.

“Y-Yoshiki-kun!” Tak bisa dipungkiri wajah Hana memerah.

“Jadi, apa yang bisa kubantu?” Yoshiki kembali mengulang pertanyaannya, kali ini wajahnya menatap lekat wajah Hana.

“E-Eh… a-anu bisa tolong bersihkan dagingnya lalu dipotong-potong?” Hana gelagapan.

“Siap laksanakan,” dengan enggan Yoshiki menarik kedua tangannya dari tubuh Hana dan beralih pada daging yang dikemas dalam plastic wrap.

Sementara tangan Hana terus bergerak memotong wortel, Sapphirenya bergerak mengikuti pergerakan yang suami yang seolah seperti telah terbiasa memotong daging dengan rapi dan cantik.

“Ternyata Yoshiki-kun jago sekali ya. Setelah itu bisa tolong potong kentangnya? Aku akan menyiapkan nasi.”

“Tentu saja. Aku sudah hidup beratus-ratus tahun My Lady. Akan sangat menyedihkan jika aku tidak bisa memasak.”

“Eh begitu—Ouch,” darah bercucuran dari jari telunjuk Hana yang tergores pisau.

GREP.

Tangan tangkas Yoshiki tangkas meraih tangan Hana. Detik berikutnya Hana sudah tidak bisa mencegah apa yang terjadi. Yoshiki membawa masuk jarinya ke dalam mulut. Menghisap darah yang mengalir dengan tekanan rendah itu dengan mata terpejam seolah menikmati setiap lelehannya.

“….” Hana hanya bisa terdiam membeku dengan wajahnya yang setengah memerah.

“A-anu… Y-Yoshiki-kun?”

“!!” Seketika kedua mata Yoshiki terbuka dan melepaskan jari Hana dari mulutnya.

“…. Maaf.”

Hana tidak bisa mengatakan apapun, keduanya terjebak dalam situasi aneh.

“Ayo kita balut lukamu sebelum infeksi. Tunggu akan kuambilkan P3K,” degan ekspresi wajah yang tak bisa Hana baca, Yoshiki meninggalkan dapur.

“U-um,” Hana hanya bisa mengangguk ambigu, menatap punggung Yoshiki menghilang dari lorong dapur.

Jemarinya memijat jari telunjuknya yang tergores namun sudah tidak mengalirkan darah itu lagi. Kepalanya kembali terisi oleh perasaan bagaimana saat darahnya dihisap perlahan dalam lembabnya mulut Yoshiki.

Tanpa ia sadari, jantungnya berdebar kencang.


.


“Silahkan My Lord, plester luka,” seorang maid menyerahkan sebuah plester luka dari kotak P3K.

“…” Dalam diam Yoshiki menerima plester tersebut.

Deg Deg.

Jantungnya berdebar kencang begitu ingatan bagaimana ia menghisap luka Hana, lewat tanpa ia minta.

‘Sial,’ rutuknya dalam hati. Bagaimana bisa ia kehilangan kendali hanya karena mencium bau darah Hana? Bagaimana jika Hana tidak menyukai ini dan kembali meninggalkannya?

‘Tapi darahnya benar-benar manis, dan dengan begini…’ Ia menatap tangannya yang merasa kembali terpenuhi energi sihir, ‘energiku kembali terisi.’

Yoshiki menghelakan nafasnya berat, ia menyandarkan tubuhnya pada dinding, ‘apa yang harus kulakukan jika dia kembali meninggalkanku…’


.


Aktivitas Hana meletakan sepiring nasi dan kare pada meja makan terhenti begitu melihat Kuroto Yoshiki memasuki ruang makan dengan gontai dan kepala tertunduk.

“Mencari P3K di planet Mars?” Tanya Hana, “ayo duduk, Karenya sudah matang.”

Dengan enggan Yoshiki melangkah menuju meja makan, meraih jemari Hana yang terluka dan membalutkan plester di sana.

“Umm, terima kasih.”

Yoshiki hanya mengangguk ringan sebelum meletakan pantatnya pada kursi, “selamat makan,” ia berguman lesu dan menyantap karenya.

“… Bagaimana?” Sementara Hana hanya bisa berharap-harap cemas menatap Yoshiki.

“Hn,” Yoshiki mengagguk, “ini enak.”

“Syukurlah! Yoshiki-kun tadi pergi mengambil P3K lama sekali, jadi aku tidak sempat menanyakan bagaimana rasa yang sesuai dengan keinginan Yoshiki-kun.”

“Hn, tidak apa-apa. Ini enak,” Yoshiki menjawab datar.

Menyadari sifat Yoshiki yang mendadak berubah, Hana hanya bisa berusaha mengabaikannya dan berlaih makan.

Suasana hening mengisi udara ruang makan yang begitu luas namun hanya diisi oleh 2 manusia saling berdiam diri.

“A-Ano—”

“Hei—”

Keduanya kembali terdiam setelah tanpa sadar saling berbicara di waktu bersamaan.

“Yoshiki-kun dulu—”

“Kau saja—”

Keduanya kembali terdiam setelah kedua kalinya berbicara di timing yang bersamaan.

“Ah, Yoshiki-kun boleh duluan,” ujar Hana ragu.

Yoshiki dengan ragu menelan wortel yang telah ia kunyah, sebelum akhirnya berujar, “maaf, yang tadi, aku tidak sengaja.”

“Eh?”

“Darahmu memiliki bau yang benar-benar menarikku, apalagi ini sudah beberapa hari sejak hari itu, aku sudah tidak bisa menahan diriku.”

“A-ah begitu, aku tidak apa-apa kok.”

Yoshiki mengangkat kepalanya seketika, menatap tidak percaya pada perempuan yang duduk di sisi meja makan.

“Kau… tidak marah?”

“Itu hanya darah karena luka lagipula.”

Tidak bisa membohongi dirinya sendiri, Yoshiki menghela nafas lega tanpa sadar, “jadi, kau mau bicara apa?”

Hana menaguk air putih dari gelas, “ah tidak, tidak jadi,” ia menggeleng kuat, “nah ayo dimakan lagi karenya.”

Yoshiki tersenyum simpul, “tentu. Ini sangat enak My Lady, berikutnya aku berharap bisa lebih sering merasakan masakanmu.”

“Eh, masakanku tidak seenak koki di sini.”

“Kalau kau yang memasak rasanya berbeda.”

“Kenapa?” Hana memiringkan kepalanya tidak mengerti.

“Karena kau istriku tentu saja.”

Seketika wajah Hana meledak memerah.


.


Hana mencelupkan kakinya perlahan pada kolam renang. Udara dingin malam musim panas menghembus tubuhnya. Suasana kolam benar-benar sepi dan senyam, hanya terdengar suara gemericik air.

BYUUUR

Seluruh tubuhnya tercelup sempurna di dalam kolam. Tubuhnya yang hanya terbalut bikini hitam bermodel sport meluncur dari ujung kolam ke ujung yang lain.

Tubuhnya seolah terasa ringan di dalam air. Setelah beberapa hari di kurung di penjara bawah tanah, akhirnya Hana merasakan banyak kebebasan hari ini. Ia tidak menyangka permintaannya untuk berenang akan disetuji Yoshiki, terlebih seketika pria itu tidak mengizinkan semua butler untuk mendekati area kolam renang. Pria itu memang selalu bertindak berlebihan dengan keposesifannya.

SPLASH

Tubuhnya kembali muncul dipermukaan.

“Kau menikmati berenang malammu?”

Terkejut, seketika Hana menolehkan kepala ke sumber suara yang ada di belakangnya. Di sata telah duduk Kuroto Yoshiki di sebuah kursi santai dengan hanya menganakan celana renangnya. Mengekspos seluruh otot dan keindahan yang selama ini terbalut dalam setelan jas yang merupakan pakaian favoritnya.

“Y-Yoshiki-kun.”

Pria itu tersenyum misterius dan beranjak menceburkan dirinya ke dalam kolam. Membuat seluruh tubuhnya basah sepenuhnya oleh air.

“K-kenapa?”

“Aku juga mau berenang,” jawabnya datar.

“O-Oh..”

“Tidak. Aku berbohong.”

“Eh?”

Kejadiannya terjadi begitu cepat. Setelah Hana sadar, tubuhnya telah terhimpit oleh tepian kolam dan tubuh atas Yoshiki yang telanjang dan demi apapun sangat sexy.

“My Lady…” Pria itu berguman seduktif dan benar-benar terdengar sexy bagi telinga Hana.

“Y-Ya?”

“Mau kah kau berjanji untuk tidak meninggalkanku lagi?”

Hana mendongkak seketika, ia mendapati wajah Kuroto Yoshiki dengan rambutnya yang basah tengah menatapnya sedih.

Situasi ini benar-benar rumit bagi Hana. Pria di hadapannya sudah berbuat hal buruk pada Keigo Yasumoto, yang notabene sosok yang paling penting saat kelam pada masa kecilnya. Terlebih, pria ini membunuh kedua orang tuanya, dan menyembunyikan banyak fakta. Entah berapa banyak rahasia lagi yang ada di balik punggung sang raja ini.

Namun Hana bisa tau jika pandangan pria itu benar-benar sedih sekarang. Kedua alisnya tertaut ke atas walaupun pandangannya hanya menatap datar.

“My Lady?”

“Yoshiki-kun sebenarnya apa lagi rahasia yang kamu miliki?” Hana tidak bisa berjanji. Ia masih cukup takut mengentahui kenyataan-kenyataan lain yang akan terungkap.

“Hn?”

Hana menundukkan kepalanya, “aku hanya takut, aku tidak siap menerima kenyataan-kenyataan lain. Yoshiki-kun adalah Lucifer yang sudah hidup sangat lama, banyak hal yang sudah dilalui Yoshiki-kun tanpa aku mengetahuinya. Aku hanya… takut…”

Tangan Yoshiki meraih dagu perempuan berambut hitam di hadapannya, sedikit memaksa wajah Hana untuk menemui wajahnya.

Chu

Sebuah ciuman diberikan.

“Y-Yoshiki-kun,” Hana berusaha melepasan diri dari ciuman.

Kecup.

Yoshiki kembali memaksakan ciumannya.

“Setiap masalah yang timbul karena apa yang telah terjadi, aku akan berusaha mengatasinya, karena itu… jangan pernah meninggalkanku lagi,” pria itu berujar sendu sebelum akhirnya memberikan rangsangan pada leher Hana.

“Hngg—” Hanya desahan yang bisa keluar dari bibir Hana.

“…!” Wajah Hana memerah seketika begitu menyadari sesuatu mengusap pahanya. Sesuatu yang keras dan tegang.

Beberapa kecupan terus menerjang leher dan turun hingga pada dada Hana.

“Hngg—Yoshiki-kun..” Hana berusaha mendorong tubuh Yoshiki.

Tak mengindahkan, Yoshiki semakin menekan tubuh Hana pada tepian kolam dan mengangkat salah satu paha Hana.

“U-Uh…” Hana bisa merasakan Yoshiki menyibakkan bikininya dan mengusap-usapkan kejantanannya pada clitorisnya.

“Ada apa My Lady? Nafasmu memberat, tubuhmu sedikit menegang,” pria itu berbisik sexy pada telinganya.

“K-Karena Yoshiki-kun mengusap-usapkannya ah…”

“Hn, kalau begitu apa yang harus kulakukan My Lady?”

Hana yang semakin terhimpit terpaksa mengalungkan kedua tangannya pada leher Yoshiki dan menyandarkan kepalanya pada pundak Yoshiki.

“My Lady?”

Bibir Hana terbuka beberapa saat, bergerak namun tak mengatakan sesuatu, “Ungh…” sementara kejanjatan Yoshiki semakin merangsangnya di bawah, “…. M-masukkan…”

Sebuah seringai tercetak jelas pada bibir pria itu, “as you wish, My Lady,” bisik pria itu sexy.

“Ahng!” rintih Hana tertahan begitu sesuatu yang keras itu benar-benar memasuki miliknya.

“Sakit?” Tanya pria itu lembut.

Oh Hana benar-benar terkejut. Ia sudah melupakan bagaimana pria itu bisa selembut ini.

“T-tidak,” jawab Hana cepat.

“Hn, kalau begitu kugerakkan,” pria itu kembali berujar lembut sebelum akhirnya mulai memompa tubuh Hana.

Bunyi cipratan air yang tercipta saat kedua tubuh itu menyatu menambah kesan tersendiri.

“U-uhn…” Wajah Hana memerah menyadari betapa miliknya di bawah begitu terasa nikmat oleh setiap genjotan sang suami.

“Kau menyukainya My Lady?”

Pertanyaan Yoshiki seolah mengajaknya kehilangan kewarasan, ia mengangguk ringan.

“Kalau begitu desahkan namaku.”

Tidak ada protes, “Y-Yoshiki-kun… nghh…” Hana mendesahkan nama pria itu saat tubuhnya menikmati setiap hentakan.

“Hnhh…” Sementra pria yang ia desahkan menghembuskan nafas berat, tubuh pria itu ikut merespon.

“Mnghh—” Pergerakan Yoshiki semakin di luar kewarasan Hana. Suara kecipuk air seolah menjadi pengiring dalam permainan keduanya.

“My Lady hhhah… kau milikku… kau hanya boleh melihatku… haah… jangan pergi dari sisiku… tetaplah bersamaku… haah…” pria itu meracau di tengah pergerakkan panasnya.

Hana bisa merasakan, di bawah sana, milik sang pria mulai berkedut.

“Y-Yoshiki-kun… a-aku… Ahnnn—” tangan Hana memeluk erat leher sang pria membuat tubuhnya semakin menenggelamkan milik Yoshiki. Bersamaan dengan orgasmennya, Yoshiki melepaskan gumpalan putihnya ke dalam rahim Hana.

“A-Aaah…” Tubuh Hana bergetar. Ia baru saja merasakan orgasme yang luar biasa memabukkan.

“Y-Yoshiki-kun bodoh… kita di kolam renang astaga…” Masih dalam kondisi memeluk dan menyandarkan kepalanya pada bahu sang suami Hana menggerutu dengan wajahnya yang memerah.

Pria itu terkekeh pelan, “bukankah kau sendiri yang meminta?”

“Tapi gara-gara Yoshiki-kun! Hungg!”

“Haha,” pria itu kembali terkekeh.

“My Lady?”

“Humm?”

“Jangan pernah meninggalkanku lagi.”

Hana kembali terdiam. Suaminya itu sudah mengatakan hal sejenis berkali-kali. Seolah hal itu menjadi masalah utama dalam kehidupannya. Membuat perempuan berambut pendek itu merasa bersalah telah mengambil tindakan untuk meninggalkan sosok dalam pelukannya.


.


Suara kicauan burung bersamaan dengan cahaya matahari yang menembus kaca membuat kelopak mata Hana perlahan mengerjap hingga akhirnya terbuka, “!!!!” dan melebar karena sedikit kaget melihat wajah Kuroto Yoshiki yang tersenyum tipis.

“K-Kenapa tersenyum begitu?” Wajah Hana mulai memerah.

“Aku senang.”

“S-Senang?”

“Hn, My Lady ketika kau pergi, aku sama sekali tidak berminat kembali ke kamar setelah merasakan bangun pagi tanpa adanya keberadaanmu. Setelah itu aku lebih memilih beristirahat di kantor. Lehernku jadi cepat lelah akhir-akhir ini karena istirahat di tempat yang tidak seharusnya. Jadi sekarang aku senang. Aku tidak perlu istirahat di kantor lagi.”

Ruam merah semakin menebal pada pipi Hana, “m-memangnya sampai seperti itu?”

“Hn?” Yoshiki menaikkan alisnya sejenak, sebelum akhirnya pria itu bangkit dan mendekatkan wajahnya pada wajah Hana, “sampai seperti itu,” pria itu menatapnya lekat, sebelum akhirnya mengecup bibirnya dan berujar, “selamat pagi My Lady.”

Read More ->>

Sabtu, 17 April 2021

Yami no Ai: AFTER WORLD [Chapter 61]

 CHAPTER 61: MY HUSBAND’S OFFICE

“Maaf mengganggu,” guman Hana lemah sebelum akhirnya melangkahkan memasuki ruangan sang presiden.

“Ini… bentonya…” sedikit gugup Hana menyerahkan bungkusan yang ada padanya.

Yoshiki sempat menatap bingung pada sikap Hana, namun setelah menyadari jika istrinya hanyalah gugup ia menjadi terkekeh, “ada apa denganmu My Lady? Kau bisa duduk dulu, bagaimana jika makan bersama?”

Mengikuti maksud Yoshiki, dibukanya bungkusan bento tersebut di meja.

Yoshiki tidak bisa menahan bibirnya untuk tersenyum semakin lebar ketika melihat  beberapa sajian variasi menu masakan sang istri tersaji di hadapannya.

“Maaf aku tidak tau harus membuat apa lagi,” Hana yang duduk di hadapannya berguman ragu.

“Aku senang, My Lady. Selamat makan,” tak mengindahkan Hana yang menatapnya dengan pandangan tidak percaya, Yoshiki mulai melahap karage dan nasi yang ada, “enak, ini enak.”

“Begitu? Syukurlah.”

Sejenak Yoshiki menghentikan kegiatan makannya dan memandangi Hana, “makanlah juga My Lady, aku sangat merindukan makan bersama istriku sendiri.”

“Eh? U-Um.. baiklah..”

TOK TOK

“Permisi Sachou, ada beberapa dokumen yang harus segera anda tanda tangani,” dari arah luar terdengar seorang wanita berujar.

Mendangus malas, Yoshiki bangkit dari kursinya sembari menelan kunyahannya, “masuk.”

“Permisi, maaf mengganggu,” begitu pintu terbuka muncullah seorang office lady yang tadi membantu Hana memberitahu lokasi ruangan Yoshiki.

“Silahkan Sachou,” si office lady menyodorkn beberapa map.

Menerima lembaran map itu, Yoshiki dengan teliti membaca dokumen dan membubuhkan tanda tangannya.

“Sedang makan siang Sachou?”

“Hn, begitulah. Istriku datang membawakannya untukku,” Yoshiki menjawab sementara pandangannya tetap tertuju pada lembaran dokumen.

“Istri?”

Yoshiki mengangguk, “Hn, dia istriku.”

“O-ooh…” Sang office lady hanya bisa mengangguk kebingungan.

“Kenapa?” Tanya Yoshiki sembari menyerahkan dokumen yang telah selesai ia tanda tangani.

“Tadi saya bertemu istri anda di lobby bawah untuk menanyakan ruangan Sachou. Istri anda mengaku hanya sebagai kenalan anda, dan lagi tidak ada cincin pernikahan, jadi saya sama sekali tidak tau. Maafkan atas ketidaksopanan saya,” selanjutnya si office lady menundukkan kepalanya kepada Hana.

“Ah, um… aku tidak apa-apa kok,” ucap Hana canggung.

“Kalau begitu saya permisi,” sang office lady undur diri dan meninggalkan ruangan.

“….” Yoshiki terdiam beberapa saat, sebelum akhirnya ia melangkah mendekati Hana, “hanya, ‘kenalan’ eh?” ucapnya penuh nada sarkastik.

“A-anu Yoshiki-kun t-tadi…”

“Kenapa kau mengatakan itu? Kau istriku! Sialan!” Setelah umpatannya itu, seluruh emosi meluap pada dirinya, diturunkannya resleting celananya dan mengeluarkan kejantanannya.

Semuanya terjadi begitu cepat, Hana yang kaget hidungnya ditekan paksa sehingga mulutnya terbuka lebar memberikan kesempatan bagi milik Yoshiki memasuki mulutnya.

“URGHHH—"

“Kau gunakan gigimu, lehermu akan kupatahkan.”

Yoshiki marah. Pria itu benar-benar menatapnya dengan pandangan dingin.

“Mulutmu ini harus diberi pelajaran, My Lady,” Yoshiki berujar geram.

Dengan kepala Hana yang telah terhimpit pada punggung kursi, Yoshiki dengan leluasa mulai menggerakkan milikknya dengan kasar, “mnhhgg---hnggk—” membuat Hana kerepotan.

Berkali-kali Hana tersedak dikarenakan milik Yoshiki menerobos masuk tenggorokannya.

Ditahannya kepala Hana dengan kedua tangannya, dan membuat kepala hitam itu bergerak maju mundur tanpa perlawanan. Mulut Hana kini sepenuhnya belepotan oleh liurnya, begitu pula milik Yoshiki.

“HHhh… Kenapa kau tidak menggunakan cincin pernikahan kita? My Lady?” Yoshiki semakin menghimpitnya, kejantanan Yoshiki seolah semakin menerobos masuk ke dalam kerongkongannya.

Sakit. Tidak bisa bernafas. Hana tak bisa mengatakan apapun, hanya air mata kesakitan yang mulai mengalir.

“Ck!” Dengan decakkan itu, Yoshiki menarik keluar kejantanannya dari mulut Hana, seketika benang-benang saliva timbul antara mulut Hana dan kejantanan Yoshiki. Memberikan kesempatan Hana untuk terbatuk.

“Jangan katakana jika kau masih memikirkan si sialan Keigo Yasumoto itu?” Lagi, Yoshiki menggunakan nada dinginnya.

“Uhug… uhug… a-aku lupa…”

“Lupa?” Kini pria itu tertawa seolah mencemooh jawaban konyol Hana, “lalu kenapa kau mengaku hanya sebagai kenalan ku? Kita hanya sebatas kenalan?” Tangan kekar Yoshiki meraih dagu Hana dan membawa wajah itu menatapnya, “aku hanya kenalanmu My Lady?”

Dibalik emosi itu, Hana bisa melihat kedua alis Yoshiki mengernyit ke atas, pria itu… sedih.

“M-maaf aku hanya menjawab respon saja,” bola matanya seolah tidak berani menatap wajah Yoshiki, “semua office lady yang ada di sini begitu cantik dan elegan, sementara aku… aku… insecure.. aku tidak yakin jika mereka akan percaya jika aku memiliki hubungan denganmu yang seorang petinggi di sini, aku juga tidak ingin membuatmu malu…”

“….” Tanpa ada kalimat lagi dari bibir Yoshiki, ia kembali memasukkan miliknya ke dalam mulut Hana, kembali membuat perempuan itu kerepotan oleh genjotannya.

“Persetan dengan itu semua! Kau… kau istriku My Lady!” Seolah semakin dibakar emosi, Yoshiki semakin menggerakkan pinggulnya dengan cepat.

Sementara Hana mati-matian menahan agar milik Yoshiki tidak masuk lebih dalam ke dalam tenggorokannya dengan tangannya menahan kedua paha pria itu.

“Ahghh—” Namun Yoshiki tidak akan kalah dari Hana, ia semakin menekan miliknya yang hendak menuju klimaks.

“My Lad—Arggg—” Hana bisa merasakan milik Yoshiki berkedut beberapa saat tak terhentikan, menyemburkan gumpalan sperma ke dalam mulut dan kerongkongannya tanpa sempat ia muntahkan.

“Telan semuanya, My Lady,” pria itu berdesis panas.

Tidak punya pilihan lain, Yoshiki masih menekan miliknya ke dalam mulutnya, ditelannya cairan ejakulasi Yoshiki dengan susah payah.

Begitu yakin seluruh cairannya telah ditelan habis, barulah Yoshiki mau menarik keluar kejantanannya, “bersihkan dirimu,” ia meraih sekotak tisu, “kita turun sebentar lagi,”

Hana mulai membersihkan wajahnya yang kacau oleh air mata, saliva, dan sedikit bercak sperma Yoshiki, “t-turun?” Tanyanya lemah.

“Membuatmu dikenal jika kau istriku.”

Oh tidak, bagi Hana ini akan menjadi ide yang buruk.

“Ayo,” tanpa menunggu persetujuan dari Hana, Yoshiki menarik tangan Hana keluar dari ruangannya dan menaiki lift untuk turun.

“Y-Yoshiki-kun tidak perlu seperti ini,” Hana berusaha menarik tangannya keluar dari cengkraman tangan Yoshiki.

Tak bergeming, Yoshiki hanya berujar, “It’s important thing to do. Because you are my pride.”

Denting lift berbunyi mendakan mereka telah dibawa hingga Lobby, seketika suara kesibukan menyeruak begitu pintu lift terbuka.

Dalam sekali sentak, tangan Hana tertarik keluar lift. Langkah kaki Yoshiki begitu lebar seakan terburu-buru. Bahkan Hana yang berusaha menahan tubuhnya agar tidak tertarik tetap saja tidak mampu melawan.

“Y-Yoshiki-kun… o-oke aku mengerti! Aku akan selalu menggunakan cincinnya jadi tolong berhenti!”

Berhasil. Yoshiki berhenti.

BRAK.

Namun sebagai gantinya tubuhnya di himpitkan pada dinding. Lokasi yang mereka gunakan tidaklah seramai itu, namun tetap saja ada dua atau tiga karyawan yang mindar mandir melihat apa yang ia dan Yoshiki lakukan.

“Y-Yoshiki-kun, banyak yang melihat,” Hana hanya bisa menundukkan kepalanya menghindari tatapan orang lain, terlebih tatapan Yoshiki yang berjarak minimal dengannya.

“Hn. Lalu? Ini kantorku, perusahaanku, aku bebas melakukan apapun.”

“T-Tapi—”

“Lagipula kau istriku.”

“Bukan itu masalahnya! Memangnya Yoshiki-kun tidak takut akan tersebar gossip aneh-aneh!?” Kali ini Hana memandang wajah Yoshiki dengan segala keberaniannya.

“Bagus bukan?”

“Bagu--!?” Hana sudah tidak bisa menanyakan kalimat Yoshiki, bibirnya telah terkunci rapat oleh bibir pria itu.

“Hngg—Mn!” Kedua tangan Hana berontak, namun kedua tangan Yoshiki lebih sigap.

Beberapa karyawan yang melewati Lorong itu nampak canggung dan memilih berbalik arah.

“Yosh—Ugh!” Berhasil. Hana mendorong Yoshiki.

Sebuah seringai tipis muncul pada bibir pria itu, “bibirmu rasa asin Karage, My Lady.”

“Ugh—Memangnya itu penting sekarang? Para karyawan tadi merasa canggung melihat kita!”

“Hn, tidak masalah, justru hal yang bagus bukan? Sekarang mereka tau jika kau adalah istriku. Istri dari presidir kantor ini.”

“G-Gila…” ucap Hana refleks.

Seringai pada bibir Yoshiki semakin melebar, “benar, aku gila karenamu My Lady. Dan ingat akan janjimu, kau akan mengenakan cincin pernikahan kita untuk seterusnya dan tidak akan pernah melepaskannya.”

“A-aku tidak berjanji seperti itu!”

Namun Yoshiki mengabaikan ucapannya, pria itu melirik jam tangannya, “tunggulah, dua jam lagi kita akan pulang bersama.”

“Aku mau ke toilet,” Hana membalik badannya, ia kesal.

Yoshiki tertawa dalam, “My Lady, Sekarang kemanapun kau berusaha melarikan diri dariku, gelang kaki jutaan dollar itu akan melacakmu bahkan sampai ke palung terdalam sekalipun.”

“Ya ya jutaan dollar,” ujar Hana mocking dan menghilang dari balik koridor menuju lobby.

“….” Sementara pria dengan kedua bola mata gelapnya itu masih terdiam di tempatnya mengamati bagaimana punggung sang istri menghilang.


.


“Haaah sudah kuduga di luar rasanya segar sekali,” Hana meregangkan tubuhnya di sebuah taman belakang yang sepertinya di desain untuk bersantai bagi para pegawai, “ruangan itu benar-benar penjara, bahkan jendela pun hanya ada di dekat langit-langit,” gerutu Hana berikutnya.

“Segarnyaaaaa!” Tubuh Hana berputar kebelakang menikmati semilir angin, tubuhnya tidak bisa menahan diri untuk bergerak lebih aktif sejak keluar dari ruangan yang seolah mengekangnya.

BRUKK—

Ia terjatuh setelah menabrak seseorang.

“Ah, anda tidak apa-apa?” Seorang pria menyodorkan tangannya khawatir melihat Hana.

“O-Oh,” Hana segera bangkit, ia menundukkan kepalanya berkali-kali dengan wajah memerah malu, “maafkan saya maafkan saya.”

“Ah, saya tidak apa-apa,” ucap pria yang sepertinya berumur hampir menyentuh setengah abad itu, “Anda klien? Saya tidak mengingat ada karyawati seperti anda.”

“S-Saya…” bibir Hana kesusahan mengucapkan kalimat yang berikutnya ia ucapkan, “i-istri Kuroto Yoshiki.”

“Ah, istri sachou?”

Hana mengangguk dengan wajah memerah, ia tidak menyangka mengucapkan hal seperti ini akan terasa semalu ini.

“Benar juga kalau diingat-ingat Sachou mengenakan cincin di jari manisnya, ternyata itu cincin pernikahan, haha, semua perempuan di divisi Marketing akan menangis mengetahui hal ini.”

“Eh?”

“Yah, bagaimanapun Sachou terlihat masih muda dan ikemen kata mereka, hampir seluruh perempuan di divisi Marketing menyukai Sachou. Ah maaf belum memperkenalkan diri, saya Fujiwara Okazaki, saya kepala divis Marketing.”

“Salam kenal Fujiwara-san, saya Hana… Kuroto.” Hana menundukkan kepalanya sopan dan canggung.

“Oh, tapi mengapa Kuroto-san tidak mengenakan cincin pernikahan seperti Sachou?”

“Ah—hari ini saya terburu-buru membawakan bentou untuk Yoshiki-kun, saya lupa memakainya lagi setelah mencuci tangan tadi.”

“Begitu…”

“Wah saya masih tidak menyangka jika Sachou sudah menikah, terlebih dengan perempuan yang sederhana seperti Kuroto-san.”

‘Sederhana.’ Kalimat itu menohok Hana tepat sasaran.

“Ah, maaf bukan maksud saya begitu,” Fujiwara segera memperbaiki kalimatnya, “selama ini saya—dan mungkin sebagaian besar pegawai wanita—mengira Sachou hanya akan menyukai wanita elite karena Sachou selalu menatap dingin kepada setiap wanita yang mendekatinya, bahkan pernah seorang komisaris wanita dari grup Tenko yang begitu terkesan elite dan glamour terlihat terang-terangan berusaha mendekati Sachou, sayangnya Sachou malah mengatakan hal mengejamkan di depan semua orang, mempermalukan komisaris besar itu, begitulah gossip yang beredar, haha,” pria itu mengakhiri ceritanya dengan tertawa garing.

‘Gossip.’ Hana kembali tertohok oleh kalimat Fujiwara.

“Yah setidaknya pertanyaan kami semua sudah terjawab jika cincin yang dikenakan Sachou memang benar cincin pernikahan.”

“Umm,” Hana hanya mengangguk canggung—“Fujiwara-san sedang apa di sini?” Hana harus segera mengalihkan pembicaraan ini.

“Saya sedang menunggu istri saya di bagian HRD.”

“Wah pas sekalian anda berdua bekerja di perusahaan yang sama.”

“Hana.”

Sebuah suara menginterupsi keduanya, sebuah suara yang dalam dan berat, dan benar saja begitu keduanya menoleh ke asal suara, Kuroto Yoshiki berdiri dengan tatapan datarnya. 

“Sachou,” Fujiwara segera menundukkan kepalanya hormat.

“Hn, Fujiwara, sedang apa kau di sini?”

“Saya menunggu istri saya menyelesaikan pekerjaannya, dan tanpa sengaja bertemu dengan istri anda.”

 Pandangan datar pria itu sedikit berkliat—bahagia—mendengar kalimat Fujiwara. Ia tidak pernah mengatakan pada Fujiwara jika Hana adalah istrinya. Maka kemungkinan terbesarnya adalah, Hana sendiri yang memberi tahu pada Fujiwara jika ia adalah istrinya.

 “Hn… apakah kalian sudah selesai?”

“Ah, silahkan jika Sachou sudah mau pergi.”

Yoshiki tersenyum tipis kepada Hana, “kalau begitu kami permisi. Ayo kita pulang Hana,” Tangan Yoshiki meraih pinggang Hana dan membawanya jalan bersama, “butuh mampir ke supermarket?”

“Eh? Untuk apa?” Benar. Untuk apa Yoshiki mengajaknya mampir ke supermarket secara tiba-tiba?

“Membeli keperluan untuk makan malam tentu saja,” jawab Yoshiki santai.

“Eh?” Oke Hana bingung sekarang.

“Mari kita coba menjadi pasangan normal pada umunya. Kau pernah bilang bukan kau senang menjalani kehidupan pasangan normal bersama si sialan itu. Kita bisa mencobanya. Lagipula aku ingin memakan masakanmu lagi, karage tadi sangat enak.

“E-eeh…”

Hana semakin tidak mengerti cara berpikir Yoshiki.


.


“M-memangnya Yoshiki-kun mau makan apa?” Hana dengan ragu bertanya begitu keduanya telah memasuki supermarket.

“Hn…. Apapun?”

Hana menepuk keningnya pelan, “sungguh jawaban yang ambigu.”

“DISKON UNTUK PEMBELIAN DAGING!” Terdengar suara gaduh yang seketika mengalihkan fokus keduanya.

“Serang!!!”

Detik berikutnya setelah menyadari istrinya baru saja berteriak, begitu Yoshiki meoleh, sosok wanitanya itu telah lenyap.


.


“Ah, itu dia, Yoshiki-kun!” Hana berlarian membawa beberapa bungkusan berisi daging diskonan hasil perebutan.

Kuroto Yoshiki, sang suami dengan santai menoleh. Di hadapannya telah ada sebuah troli berisikan beberapa kentang, wortel, dan bawang Bombay.

“Lihat aku dapat!” Hana tersenyum lima jari memamerkan bungkusan perjuangannya.

Alis pria itu mengernyit begitu menyadari jika di bawah dagu kanan istrinya itu berwarna kebiruan, “dagumu, kenapa?”

“Ah? Oh,” dengan konyol Hana mengusap dagunya, “aduh. Loh kok sakit?”

“Dasar bodoh,” Yoshiki mendengus kesal.

“Sepertinya tadi tersikut ibu-ibu ganas, hehe.”

Seketika ingatan mengenai bagaimana hidung istrinya tersikut ketika bermain basket saat sekolah dulu mengisi kepalanya. Ia menghela nafas berat, “aku mohon berhati-hatilah, aku tidak ingin melihatmu menderita seperti kejadian hidungmu yang patah.”

Hana tidak bisa mengatakan apapun, wajah pria di hadapannya itu terlihat benar-benar sedih dengan kedua alisnya tertaut ke atas.

“A-aah—Lihat lihat apa yang kudapat!” Hana berusaha mengalihkan pembicaraan.

“Hn, kenapa kau begitu bersemangat. Kita bisa membeli yang non diskon,” Yoshiki mendengus malas.

“Ehh sesuatu yang didapat dengan perjuangan itu rasanya lebih enak loh. Oooh apa ini? Kentang, wortel, bawang… hmm… tunggu, ini bahan-bahan untuk membuat Kare.”

“Memang kare. Kita akan memasak kare bersama.”

“Eh?”

Read More ->>
Diberdayakan oleh Blogger.